Rabu, 19 Desember 2012

Tugas pancasila--semester 1, Globalisasi


MEMINIMALISIR DAMPAK NEGATIF dari GLOBALISASI
        
Abstrak
            Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.
            Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.
Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ).
Pendahuluan
          Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
          Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi:
  • Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.
  • Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
  • Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
  • Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.
  • Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara.
Sejarah globalisasi
Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antarbangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antarnegeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Tiongkok dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat (seperti misalnya jalur sutera) maupun jalan laut untuk berdagang. Fenomena berkembangnya perusahaan McDonald di seluroh pelosok dunia menunjukkan telah terjadinya globalisasi.
Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang antara lain meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia, dan Genoa. Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia.
Fase selanjutnya ditandai dengan eksplorasi dunia secara besar-besaran oleh bangsa Eropa. Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda adalah pelopor-pelopor eksplorasi ini. Hal ini didukung pula dengan terjadinya revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan antarbangsa dunia. berbagai teknologi mulai ditemukan dan menjadi dasar perkembangan teknologi saat ini, seperti komputer dan internet. Pada saat itu, berkembang pula kolonialisasi di dunia yang membawa pengaruh besar terhadap difusi kebudayaan di dunia.
Di Indonesia sejak politik pintu terbuka, perusahaan-perusahaan Eropa membuka berbagai cabangnya di Indonesia. Freeport dan Exxon dari Amerika Serikat, Unilever dari Belanda, British Petroleum dari Inggris adalah beberapa contohnya. Perusahaan multinasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi hingga saat ini.
Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia runtuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat antarnegara pun mulai kabur.
Ciri globalisasi
Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/7/73/Cargo_ship_ready_for_scrapping.jpg/200px-Cargo_ship_ready_for_scrapping.jpg

Hilir mudiknya kapal-kapal pengangkut barang antarnegara menunjukkan keterkaitan antarmanusia di seluruh dunia
  • Perubahan dalam Konstantin ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet  menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
  • Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam world trade organization (WTO).
  • Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.
  • Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu.
Teori globalisasi
Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat tiga posisi teoritis yang dapat dilihat, yaitu:
  • Para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang homogen. meskipun demikian, para globalis tidak memiliki pendapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses tersebut.
Ø  Para globalis positif dan optimistis menanggapi dengan baik perkembangan semacam itu dan menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung jawab.
Ø  Para globalis pesimis berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar dipermukaan. Beberapa dari mereka kemudian membentuk kelompok untuk menentang globalisasi antiglobalisasi.
  • Para tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos semata atau, jika memang ada, terlalu dibesar-besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital.
  • Para transformasionalis berada di antara para globalis dan tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun, mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung". Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dikendalikan.
Analisis Situasi
               Dalam indeks globalisasi tahunan yang dikeluarkan AT Kearney/Foreign Policy 2003-2006, posisi Indonesia tidak berubah, yakni peringkat ke-3 dari belakang (least globalized country). Indonesia menduduki urutan 60 dari 62 negara.
               Dalam daftar indeks globalisasi KOF 2007, posisi Indonesia pada urutan 78 dari 122 negara. Peringkat globalisasi ini didasarkan pada data tahun 1970 hingga 2004 dengan 25 variabel.
Beberapa waktu terakhir ini muncul berbagai fenomena disintegrasi di Indonesia, mulai dari peperangan antar etnis, tuntutan merdeka, pertikaian antar ras, konflik antaragama, hingga konflik politik lokal.
Dari fenomena tersebut maka konsep nasionalisme menjadi sangat relevan untuk dibicarakan kembali setelah sekian lama hilang dalam hingar bingar euforia reformasi. Membangkitkan kembali perasaan nasionalisme akan menguatkan kembali solidaritas warga negara suatu bangsa.

Peradaban baru
Nasionalisme menghadapi tantangan besar dari pusaran peradaban baru bernama globalisasi. Nasionalisme sebagai basic drive bangsa Indonesia sedang diuji fleksibilitasnya. Nasionalisme dituntut untuk bermetamorfosis saat globalisasi memaksa individu melepaskan diri dari keterikatannya dengan nation-state.
Globalisasi telah melahirkan proses deteritorialisasi yang menghapus keterikatan individu dengan wilayah dan negaranya. Identitas budaya yang bisa menjadi perangkai identitas komunal yang merekat keterikatan dengan nation-state telah retas karena muncul kebudayaan baru yang tidak lagi berangkat dari identitas sendiri.
Setiap individu menjadi dan mengonsumsi identitas yang lain, sehingga identitas nasional mejadi kabur. Nasionalisme pun sebagai sebuah ideologi menjadi sangat kabur sejalan mengkaburnya identitas nasional digantikan identitas global. Boleh dikatakan telah muncul nasionalisme global yang tak lagi dibatasi oleh nation-state (bangsa-negara).
Uniknya., di tengah proses mengglobal itu muncullah kesadaran baru yang berlawanan dengan proses mengglobal itu, yaitu penguatan identitas lokal yang semakin intensif. Muncullah nasionalisme baru yang merupakan tandingan atau perlawanan terhadap nasionalisme global, yaitu etnonasionalisme.
Etnonasionalisme ini muncul atas kesadaran lokal yang mengedepankan kepentingan lokal dibandingkan kepentingan nasional. Etnonasionalisme di Indonesia semakin mendapat jalan lempang saat munculnya isu otonomi daerah yang mau tak mau mendorong kesadaran lokal.
Tentu saja tidak pada tempatnya untuk menilai apakah nasionalisme global dan etnosionalisme itu merupakan virus yang berbahaya atau tidak. Namun yang jelas kedua proses tersebut tak dapat dihindari dan harus dihadapi oleh semua bangsa, tak luput juga Indonesia. Maka, tampaklah bahwa nasionalisme di Indonesia berada dalam dua himpitan besar yang saling tarik menarik dengan kuat yaitu globalisasi dan etnonasionalisasi.
Hingga kini Indonesia tidak memiliki visi dalam menghadapi globalisasi. Ia hanya dilihat selayang pandang, belum pernah diurai bagaimana peluang dan tantangannya. Belum ada dokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah sebagai acuan dalam menghadapi era globalisasi. Tidak ada analisis dan uraian memadai dalam rencana pembangunan (RPJM/RPJP) yang membahas globalisasi meski hal itu merupakan satu-satunya panduan bagi pemerintah dan masyarakat. Jadi, kepentingan nasional harus dirumuskan kembali berupa strategi nasional Indonesia di tengah gejolak globalisasi dan regionalisasi.
Masalah
Salah satu tokoh yang berpendapat bahwa Globalisasi berdampak negatif adalah Dosen dari Universitas Ohio Elizabeth Fuller Collins. Collins menyebutkan bahwa dampak negatif globalisasi adalah bahwa kapitalisme pasar bebas yang bersanding manis dengan istilah  ekonomi neoliberal  memperlakukan tenaga kerja, uang, tanah dan sumber alam sebagai faktor produksi semata atau komoditas yang diperjual belikan. Akibatnya, Suplay dan demand dari tenaga kerja, uang, tanah dan sumber alam akan ditentukan dan menentukan harga di pasaran. Dampak langsung yang diakibatkan kondisi ini adalah krisis finansial, instabilitas politik, dan ancaman kelestarian lingkungan.
Kekerasan di mana-mana, teror di mana-mana, bukan hanya dalam bentuk bom yang meledak di mana-mana, tetapi dalam bentuk lain seperti perampokan, pembunuhan, penculikan dan semua bentuk kekerasan yang seolah sah dan wajar dalam kehidupan manusia masa kini.
Kekerasan bukan hanya terhadap sesame manusia tetapi juga terhadap lingkungan hidup kita. Kalau kita misalnya merenungkan peristiwa banjir bandang dan longsor yang menelan ratusan korban di Sumatera Utrara, maka nyatalah bahwa itu terjadi sebagai akibat kekerasan manusia terhadap alam. Perambahan hutan sebagai salah satu bentuk kekerasan manusia terhadap lingkungan telah membawa akibat yang sangat fatal.
Kini erotisme seluruh dunia merupakan anak kandung dari mammonisme yang menghalalkan segala cara mendapatkan uang. Cyber-porno merupakan salah satu bisnis mengeksploitasi umat manusia demi uang. Kalau ia hanya menjadi bisnis, mungkin tidak terlalu menjadi persoalan. Tetapi pornografi telah merusak moral banyak manusia di dunia dengan penggambaran-penggambaran yang tidak sehat dan tidak mendidik. Apa yang ditonjolkannya hanyalah hedonisme dan kekerasan. Inilah dampak globalisasi yang menyusup melalui komunikasi dan informasi di dunia maya yang melahirkan dewa baru bernama Eros. Pemujuaan terhadap seks di dunia maya ini membawa nilai baru dalam hubungan rumah tangga, hubungan laki-laki dan perempuan dan hubungan antar- manusia seolah tanpa penghormatan terhadap gender.
Rupanya memang telah terjadi pergeseran paradigma dalam soal agama. Agama lama yang masih formal diakui umat manusia dan Allah atau Tuhan yang benar, sedang dimarginalisasi oleh dewa-dewi baru, yang ternyata lebih menarik dan lebih meyakinkan banyak manusia di dunia. Materi, kenikmatan, kekerasan dan erotisme sedang menguasai sanubari kita dan ternyata semua itu tidak membuat kita menjadi manusia bebas melainkan menjadi manusia yang semakin terpenjara dan terbelenggu. Karena itu, globalisasi dalam bentuk dewa-dewi baru itu tidak lebih dari dewa-dewi palsu (pseudo-lords) yang menyesatkan; yang karenanya seharusnya diwaspadai dan disiasati.supaya tidak memerangkap kehidupan kita. Kita harus kembali memberi tempat pada Tuhan yang asli dalam kehidupan kita, dalam relasi-relasi kita, baik relasi dengan sesama manusia maupun dengan lingkungan hidup kita. Dengan memberi tempat pada Tuhan yang asli dalam sanubari kita, maka relasi-relasi kemanusiaan kita yang asli dan hakiki akan pulih dan akan memberikan kebebasan dan kemerdekaan yang sejati kepada kita.
Globalisasi ibarat kanker, telah menjalar dan menyusupi semua aspek kehidupan umat manusia. Bukan saja masalahnya adalah persoalan ketidak-adilan dalam bidang ekonomi moneter, tetapi globalisasi telah menimbulkan begitu banyak masalah, dengan kemajuan yang luarbiasa di bidang informasi dan interaksi manusia. Stackhouse menyebutkan adanya tiga dewa globalisasi yaitu dewa Mammon (materialisme), Mars (perang/kekerasan) dan Eros (pornografi). Tiga dewa ini seringkali berkolaborasi dalam kehidupan etika dan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga etika dan kemanusiaan pada umunya tidak bermakna lagi sebagai norma kehidupan.
Materialisme misalnya, telah menciptakan "malaekat" pembangunan yang mendorong orang ingin terus berproduksi dan mengonsumsi supaya materi semakin menguasai kehidupan kita. Dewa Mammon mungkin dapat dianggap sebagai dewa tertinggi dari dewa-dewi ini karena dialah yang paling berjasa melahirkan dua dewa lainnya, bahkan masih banyak lagi dewa-dewi globalisasi yang sedang lahir dan bermunculan, misalnya dewa Hedonisme dan dewa Konsumerisme.
Mammonisme telah menjadi dewa yang paling menguasai umat manusia. Sekarang ini materi seolah telah menjadi ukuran segala sesuatu. Apa saja harus dibeli dan bisa di beli. Mereka yang tidak bisa dibeli dan membeli adalah ateis yang tak bertuhan. Dalam masyarakat mammonistik, agama resmi tinggal menjadi formalistik dan seremonistik. Nilai agama itu telah diganti menjadi nilai Mammon, nilai uang. Tanpa uang Anda tidak bisa menikmati sesuatu dan tanpa nikmat hidup menjadi seolah hampa. Itulah hedonisme, suatu bentuk kehidupan yang mengagungkan kesenangan dan kenikmatan belaka. Membeli dan dibeli, menikmati dan dinikmati, itulah tujuan hidup mammonisme yang telah menyingkirkan semua tujuan hidup lainnya. Akibatnya, hubungan kemanusiaan tidak lain dari hubungan materi. Tanpa materi, hubungan dengan sesama manusia seolah tidak bernilai. Hubungan kemanusiaan seolah hanya ditandai dengan "transaksi".
Pengaruh Globalisasi Terhadap Sosial Budaya di Indonesia 
  
               Nilai-nilai moral bangsa Indonesia yang terdahulu terkenal dengan adat  ketimuran bangsa Indonesia yang mempunyai nilai-nilai budaya yang luhur, adab kesopanan yang tinggi, saat ini karena pengaruh globalisasi yg disusupin oleh  gaya kapitalis dan misi satu negara yang sudah masuk ke dalam kebudayaan Indonesia dengan segala pemikiran liberalis yang akhirnya mengikis nilai-nilai budaya Indonesia yang bermartabat menuju pada moral bangsa yg rendah, karena tidak sesuai dengan idiologi Pancasila yg memiliki dasar ke Tuhanan dan telah dilanggar dengan pemikiran-pemikiran liberalis yang bebas mendefinisikan makna ke Tuhanan dan kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan pemikiran-pemikiran yg liberal yaitu berdasarkan hasil pemikiran individu atau kelompok dan bukan berdasarkan aturan hokum ke Tuhanan yang diajarkan oleh suatu agama. Terutama perubahan ini terlihat sekali memasuki wilayah aturan agama yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat Indonesia yaitu Islam. Kebebasan berfikir dan mendefinisikan amalan ibadah yang tidak sesuai dengan aturan/hukum yang sudah ditetapkan dalam ajaran islam ini, nampak jelas sekali sedang diupayakan untuk dirusak dan di selewengkan dengan mengatas-namakan toleransi dan hak asasi manusia dalam menjalankan amalan ibadahnya menurut keyakinannya sendiri dan dari hasil pemikirannya sendiri yang sudah dipengaruhi oleh gaya pemikiran Liberal yang mengusung kebebasan tanpa batas dan ini bertentangan sekali dengan norma-norma agama yang diajarkan pada umumnya dan norma ajaran islam pada khususnya yang mempunyai batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar karena dasar keimanan kepada Allah swt.
               Pengaruh globalisasi di Indonesia yg sudah didominasi oleh gaya kapitalis dan pemikiran liberalis secara perlahan sudah berusaha menggrogoti nilai-nilai ideology Pancasila yang memiliki arti kemanusian yang adil dan beradab dengan menimbulkan banyak perubahan pada nilai-nilai kemanusiaan yang beradab kepada 
nilai pemikiran Liberalis dan memberikan dampak kemerosotan moral menjadi tidak 
beradab yaitu dengan maraknya pornografi dan pornoaksi yang mengatasnamakan 
seni dan menungkir balikan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dengan adat ketimurannya yang dahulu selalu menjaga nilai kemanusiaan yg beradab, namun kini pengaruh kapitalis yang mengusung pemikiran liberalis dengan kebebasan tanpa batas, sesungguhnya sudah menurunkan arti peradaban bangsa Indonesia yang dahulu selalu dijunjung tinggi menjadi negara dengan kemerosotan moral yang 
cukup tajam dan tidak sesuai dengan Ideologi Pancasila yang menganut faham keTuhanan YME yg seharusnya mengikat tiap-tiap individu masyarakat/bangsa dengan nilai-nilai ke Tuhanan yang sudah digariskan dalam satu ajaran agama yang mengikat dengan batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar. Dan gaya kapitalis dan liberalis sudah melanggar makna kemanusiaan yg beradab menjadi tidak beradab dengan melokalisir tempat-tempat perjudian dan perzinahan, dan mulai maraknya satu kelompok yang ingin melegalkan kaum homoseksual agar diakui keberadaannya di Indonesia, jelas bertentangan sekali dengan Ideologi Pancasila, khususnya sila ke Tuhanan YME dan kemanusiaan yg adil dan beradab.
   
Misi Kapitalis Dengan Pemikiran Liberalis 
               Gaya kapitalis dengan pasar bebasnya dan pemikiran liberalis yang tanpa batas dan disertakan dalam globalisasi, sudah menciptakan banyak malapetaka di Indonesia yaitu makin terpuruknya perekonomian Indonesia denga pasar bebasnya, 
dimana kita tidak mampu bersaing dengan negara-negara yang mengusung misi tersebut dengan memberikan banyak persyaratan-persyaratan politik yang diajukan 
oleh penyandang dana seperti IMF dan Bank Dunia, sehingga Indonesia hanya dijadikan sebagai koloni untuk memasarkan hasil-hasil industri negara-negara maju yg mengusung misi idiologi suatu negara tersebut, tanpa mampu menjual hasil industri negara Indonesia yg sudah dirobohkan sendi-sendi perekonomian di seluruh sector industri, keuangan maupun perdagangan dengan menggunakan kelompok-kelompok tertentu
               Pengaruh globalisasi yang mengusung misi gaya kapitalis dan pemikiran liberalis berusaha ingin menghancurkan dan mengacaukan sendi-sendi agama mayoritas di Indonesia dengan kebebasan untuk memaknai ajaran agama berdasarkan pemikiran Liberal tanpa batas, justru telah melanggar aturan-aturan hokum agama yg telah digariskan oleh batasan-batasn yg tidak boleh dilanggar, karena keimanan kepada Allah swt. Dikarenakan agama dijalankan bukan sekedar 
mengandalkan pemikiran semata, tapi memaknai agama harus dilengkapi dengan keimanan yg dibatasi oleh aturan-aturan yg dibuat oleh Allah dan tidak boleh di langgar oleh pemeluknya.
               Pemikiran Liberalis yang tanpa batas sudah menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan dengan peradaban budaya timur Indonesia yang begitu tinggi dengan nilai kesopanan, tata krama yang diikat oleh aturan agama, tapi kini sudah terpuruk dengan moral yang rendah dan nilai etika serta adab yg jauh dari kesopanan maupun peradaban manusia yg mengkampanyekan pornografi dan pornoaksi dengan alasan seni, serta berusaha melegalkan kaum homoseksual untuk diakui keberadaannya, dan ajang-ajang miss universe yang mengumbar kemolekan tubuh dan dibingkai dengan latar belakang intelligent pendidikan yang tinggi, yg sebenarnya sudah melanggar batasan budaya Indonesia dan kaidah agama. 
               Dan melokalisir tempat-tempat perjudian dan kemaksiatan yang sesungguhnya sudah menanamkan bibit-bibit kebejadan moral individu suatu bangsa yang sudah tidak berbudaya apalagi ber ke Tuhanan, tanpa sadar sesungguhnya sudah mengkhianati dan mengikis habis arti dan makna Ideology Pancasila yang dianut oleh bangsa Indonesia.
               Pengaruh globalisasi yang ternyata mengusung misi politik suatu bangsa yang maju untuk masuk ke Indonesia, secara langsung sudah menggrogoti ideology 
negara yaitu Pancasila dan tanpa sadar telah digantikan oleh gaya kapitalis dan saat ini Pancasila hanya akan dijadikan sebagai symbol negara yg tanpa makna, karena sudah tercabut jati dirinya yg memuat 5 dasar yg berisi tujuan dan cita-cita bangsa yg tertuang dalam UUD’45, sesungguhnya tanpa sadar saat ini Indonesia telah dijajah dengan penjajahan model baru yg secara jelas menghancurkan seluruh aspek pertahanan kita dari dalam dengan memanfaatkan satu kelompok-kelompok tertentu.
               Akibat penjajahan dengan model baru dengan symbol globalisasi, yang mengikut sertakan misi perubahan idiologi suatu negara secara perlahan menjadi ideology negara pencetus globalisasi dengan gaya kapitalis dan pemikiran liberalis. 
hingga tanpa sadar idiologi Pancasila sudah digantikan oleh pencetus globalisasi yg membawa misi politik idiologi suatu negara tersebut.
               Dampak negative di bidang teknologi terjadi penyalahgunaan fungsi teknologi untuk hal-hal yang melanggar norma, seperti video porno yang direkam via handphone, atau kasus penipuan via internet.
Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
1.    Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang
2.    Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
3.    Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
4.    Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
5.    Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan Generasi Muda
Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.
Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.
Lebih lanjut dampak negatif globalisasi di bidang teknologi:
1.  Kerahasiaan alat tes semakin terancam Program tes inteligensi seperti tes Raven, Differential Aptitudes Test dapat diakses melalui compact disk.. Implikasi dari permasalahan ini adalah, tes psikologi yang ada akan mudah sekali bocor, dan pengembangan tes psikologi harus berpacu dengan kecepatan pembocoran melalui internet tersebut.
2.  Penyalah gunaan pengetahuan bagi orang-orang tertentu untuk melakukan tindak kriminal. Kita tahu bahwa kemajuan di badang pendidikan juga mencetak generasi yang berepngetahuan tinggi tetapi mempunyai moral yang rendah. Contonya dengan ilmu komputer yang tingi maka orang akan berusaha menerobos sistem perbangkan dan lain-lain.
Solusi
Sifat Ketahanan Nasional Indonesia
Ketahanan nasional yang harus di jiwai Indonesia memiliki sifat yang terbentuk dari nilai-nilai yang terkandung dalam landasan dan asas-asasnya, yaitu:
1.    Mandiri
Ketahanan nasional percaya pada kemampuan dan kekuatan sendiri serta pada keuletan dan ketangguhan, yang mengandung prinsip tidak mudah menyerah, dengan tumpuan pada identitas, integritas, dan kepribadian bangsa. Kemandirian (indepedency) ini merupakan prasyarat untuk menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dalam perkembangan global (interdependent).
2.    Dinamis
Ketahanan nasional tidaklah tetap. Ia dapat meningkat atau menurun, tergantung pada situasi dan kondisi bangsa, Negara, serta lingkungan strategisnya. Hal ini sesuai dengan hakikat bahwa segala sesuatu di dunia ini senantiasa berubah dan perubahan itu senantiasa berubah pula. Karena itu, upaya peningkatan ketahanan nasional harus senantiasa diorientasikan ke masa depan dan dinamikanya di arahkan untuk pencapaian kondisi kehidupan nasional yang lebih baik.
3.    Wibawa
Keberhasilan pembinaan ketahanan nasional Indonesia secara berlanjut dan berkesinambungan akan meningkatkan kemampuan dan kekuatan bangsa. Makin tinggi tingkat ketahanan nasional Indonesia, makin tinggi pula nilai kewibawaan dan tingkat daya tangkal yang dimiliki oleh bangsa dan Negara Indonesia.
4.    Konsultasi dan Kerjasama
Konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia tidak mengutamakan sikap konfrontatif dan antagonis, tidak mengandalkan kekuasaan dan kekuatan fisik semata, tetapi lebih mengutamakan sikap konsultatif kerjasama, serta saling menghargai dengan mengandalkan kekuatan moral dan kepribadian bangsa.
Asas Mawas ke Dalam dan Mawas ke Luar
System kehidupan nasional merupakan perpaduan segenap aspek kehidupan bangsa yang saling berinteraksi. Di samping itu, system kehidupan nasional juga berinteraksi dengan lingkungan sekelilingnya. Dalam proses interaksi tersebut dapat timbul berbagai dampak, baik yang bersifat positif maupun negative. Untuk itu di perluakan sikap mawas ke dalam maupun ke luar.
a.    Mawas ke Dalam
Mawas ke dalam bertujuan menumbuhkan hakikat, sifat, dan kondisi kehidupan nasional itu sendiri berdasarkan nilai-nilai kemandirian bangsa yang ulet dan tangguh. Hal ini tidak berarti bahwa Ketahanan Nasional mengandung sikap isolasi atau nasionalisme sempit.

b.    Mawas ke Luar
Mawas ke luar bertujuan untuk dapat mengantisipasi dan berperan serta mengatasi dampak lingkungan strategis luar negeri dan menerima kenyataan adanya interaksi dan ketergantungan dengan dunia internasional. Kehidupan nasioal harus mampu mengembangkan kekuatan nasional untuk memberikan dampak ke luar dalam bentuk daya tangkal dan daya tawar. Interaksi dengan pihak lain di utamakan dalam bentuk kerjasama yang saling menguntungkan.
Antisipasi Pengaruh Negatif Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme
Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu :
1.    Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
2.    Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
3.    Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
4.    Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
5.    Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.
            Bagi kita yang sadar bahwa arus globalisasi itu tidak harus dimakan mentah-mentah tetapi harus di saring dahulu sebelum di konsumsi, harusnya mampu memberikan penyadaran pada masyarakat yang belum sadar tentang fungsi teknologi terutama internet yang sebenarnya.
Bagi orang tua berhati-hatilah dengan pergaulan anak-anak anda. Memberikan fasilitas kepada anak-anak dengan tujuan agar mereka lebih kreatif dan cerdas bukan berarti membiarkan mereka melakukan apapun tanpa dibimbing dan diawasi. Beri pengertian pada anak-anak anda bahwa tidak semua situs di internet dapat diakses, mereka harus memilih mana yang penting dan mendukung untuk sekolahnya atau tidak. Situs-situs yang tidak penting lebih baik tidak diakses.
Jangan pernah takut menerima perkembangan zaman, jangan pobia terhadap globalisasi. Biarkan semua arus itu masuk namun yang harus kita ingat, pasang saring yang kuat agar dampak negatif yang masuk bisa ditekan dan diminimalisir, sehingga dampak negatif globalisasi tidak dengan mudahnya mempengaruhi kita.
Nasionalisme di Era Globalisasi
http://www.unisosdem.org/images/spacer.gif 
Kebangkitan nasional merupakan tonggak pertama pergerakan rakyat yang mengantar ke pintu gerbang kemerdekaan. Kohesi sosial yang semula berdasarkan unsur-unsur primordial (suku, bahasa, tradisi, agama) menjadi perasaan senasib sebagai bangsa terjajah.
Tetapi nasionalisme baru dipahami sebatas semangat kebangsaan dan geopolitik. Kita belum menjadikan nasionalisme sebagai prinsip politik praktis sesuai dengan realitas bangsa dalam kemajemukannya dan kini dalam keterpurukannya. Sebagai bangsa, kita belum termotivasi membangun negeri dan merebut peluang ekonomi di era globalisasi.
·         Politik kebudayaan
Budi Oetomo terbentuk karena kesadaran akan warisan kebudayaan dan dorongan modernisasi. Para pemimpin pergerakan percaya, hanya dengan penyebarluasan pendidikan, rakyat tercerahkan dan terbebaskan dari keterbelakangan. Pemerintah kolonial diminta mendirikan sekolah dengan sistem beasiswa bagi pemuda pribumi berbakat. Kebangkitan kita sebagai bangsa bukan lewat politik bambu runcing, kekuatan massa, atau agama, tetapi lewat politik kebudayaan.
Persis di situ kita gagal. Pendidikan bangsa diabaikan. Rakyat tetap lemah dan tak terdidik. Elite politik setengah hati mencerdaskan rakyat. Ironi di republik merdeka, pemuda miskin tak mampu meneruskan pendidikan tinggi karena swastanisasi universitas negeri. Ukuran kebangkitan nasional di era globalisasi adalah menjadi bangsa modern.
Sewindu reformasi wajah demokrasi kita liar di luar koridor negara hukum. Kekuatan-kekuatan massa mengorganisasi diri dan main hakim sendiri. Namun, sebagai bangsa, kita tetap lemah, belum mampu berdiri di atas kaki sendiri dan menentukan nasib sendiri, tidak bebas menentukan kebijakan politik yang strategis. Ketergantungan ekonomi pada negara-negara maju amat besar.
Syarat menjadi bangsa modern adalah kebangkitan iptek. Untuk itu, politik kebudayaan harus jelas agar kita agresif merebut dan menguasai teknologi modern. Aneka kecenderungan primordial harus menyesuaikan diri dengan tuntutan modern.
Nasionalisme kita harus melahirkan anak bangsa yang pandai dan mampu mengelola potensi alam, kekayaan, dan sumber daya manusia, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kini kemajuan bangsa ditentukan oleh kemampuan dan kepintaran menjalin kerja sama dengan negara maju. Ramah terhadap investasi asing tidak berarti menggadaikan kekayaan dan kedaulatan negeri.
·         Politik pembangunan
Kita harus mengejar ketertinggalan dalam menghasilkan produk-produk bernilai tambah dan berdaya saing global. Nasionalisme harus mengawal dinamika sosial dan pembangunan sistem sosial. Problem serius kita adalah kemiskinan sumber daya manusia (SDM) secara kualitas maupun kuantitas. Manusia Indonesia yang cerdas tidak kurang, tetapi banyak dari mereka bekerja di dan untuk negara lain.
Pemerintah Indonesia amat rendah menghargai kerja peneliti. Gaji anggota parlemen puluhan kali lipat gaji peneliti di LIPI. Prioritas pengembangan teknologi padat karya amat mendesak untuk menyerap kelebihan tenaga kerja dan meredam ledakan pengangguran. Jangan ada mimpi Indonesia tinggal landas dengan rakyat miskin sebagai landasannya.
Ketika pembangunan manusia dikorbankan, kekayaan negeri hanya dinikmati segelintir orang. Sebagian besar rakyat tetap miskin. Alih-alih keadilan sosial, tercipta kesenjangan sosial.
Pembangunan harus bertumpu pada penghargaan atas manusia dan kemanusiaan karena negara memang harus menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar manusia.
Globalisasi menjadi masalah besar bila hubungan antarnegara masih bersifat Patron-Klien yang tidak setara karena globalisasi menjadi media eksploitasi. Celakanya, bukti empiris menunjukkan bahwa beberapa negara "klien" justru menikmati kedudukannya sebagai pihak yang perlu "dibantu". Mampu membayar kembali hutang dan bantuan berikut segala kewajiban lainnya dianggap prestasi oleh negara "klien" sehingga berutang terus-menerus dalam jumlah yang makin besar bukan merupakan aib, tetapi justru dianggap sebagai keberhasilan.
Begitu juga dengan kecenderungan memberi konsesi aneka pertambangan pada asing. Dapat disimpulkan bahwa permasalahan globalisasi bukan semata-mata kesalahan keinginan mendominasi dari negara patron, tetapi kesalahan terbesar justru ada pada negara "klien" yang menikmati "ketergantungannya".
Negara "patron" tidak dapat dicegah menggunakan kelebihannya untuk mencari manfaat dari negara "klien", tetapi negara "klien" dapat bangkit dari keterpurukannya dengan membongkar belenggu hubungan Patron-Klien ini dengan membangun kemandirian, kepercayaan diri, dan melepaskan ketergantungan pada negara "patron".
Inilah yang dilakukan oleh negara-negara yang sukses, seperti Korea Selatan dan Singapura, yang sekarang bisa berdiri sejajar dengan negara-negara Barat. Menangnya Hamas di pemilu legislatif Palestina, Ahmadinejad di pemilu presiden Iran, nasionalisasi aset migas Bolivia di bawah Evo Morales, dan aset migas Venezuela di bawah Hugo Chavez menunjukkan meningkatnya protes masyarakat dunia terhadap kondisi "Patron-Klien" dalam hubungan antarnegara.
Kita tidak menyerah pada fakta bahwa di dunia yang penuh dengan persaingan ini, banyak pihak ingin menyiasati kita. Yang harus kita lakukan adalah membuat diri kita tidak bisa diakali oleh konspirasi asing.
Kita perlu memiliki ketahanan nasional yang tangguh, yang mampu menentukan sendiri cara, kontrol, skema, waktu, dan jenis keterbukaan kita pada dunia, serta menggunakan setiap peluang berinteraksi dengan dunia sebagai kesempatan untuk memajukan bangsa dan negara kita. Era globalisasi perlu dihadapi dengan semangat nasionalisme yang sama kuatnya seperti saat negara-negara lemah melawan penjajahan zaman dulu.
Nasionalisme era sekarang perlu diwujudkan dalam kecerdikan mengelola peluang yang timbul dari globalisasi, dengan semangat meningkatkan kesejahteraan rakyat, harkat dan martabatnya. Globalisasi telah mengantarkan dunia ke arah persaingan antarbangsa dan negara, yang dimensi utamanya terletak pada bidang ekonomi, budaya, dan peradaban.
Tinggi rendahnya harkat, derajat, dan martabat suatu bangsa semakin diukur dari tingkat kesejahteraan, budaya, dan peradabannya.
Dengan adanya arus globalisasi dunia ini Indonesia dihadapkan pada hanya dua pilihan saja: memilih hal ini sebagai sebuah peluang atau sebagai sebuah hambatan. Peluang berarti setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memanfaatkan situasi ini dalam menghidupi kehidupannya dengan baik. Sedangkan tantangan berarti setiap orang diberi kesempatan untuk berkompetisi dan menunjukkan kemampuannya.
Sudah saatnya Indonesia melakukan akselerasi pembangunan di segala sektor menghadapi tantangan era globalisasi yang sudah hadir di depan mata. Proses globalisasi ini membuat dunia menjadi kian sempit. Persis seperti yang dikatakan Thomas L Friedman di dalam bukunya yang berjudul The World is Flat. Jadi janganlah heran. Jika kita dapat menemukan dengan mudah berbagai produk luar negeri yang beredar di seantero negeri kita.


Strategi Yang Tepat Untuk Menghadapi Globalisasi
Perlunya strategi yg tepat untuk menghadapi globalisasi dengan gaya kapitalis dan liberalis yaitu Indonesia harus memiliki system pemerintahan yg kuat dengan strategi yg jelas dan memberlakukan hukum yg mengikat kuat pada individu, masyarakat serta membuat kesepakatan dengan negara-negara asing dalam melakukan hubungan kerjasama yang jelas tanpa adanya ketimpangan kebijaksanaan yang justru merugikan satu negara dan menguntungkan negara lain dalam melakukan kerja sama, dengan memberikan banyak persyaratan-persyaratan kepada negara Indonesia sebagai negara penerima bantuan pinjaman dari para pengusung gaya kapitalis tsb.
Strategi hukum yg tepat untuk mengikat pengaruh globalisasi dengan gaya kapitalis dan liberalis dengan kebebasan tanpa batasnya, maka perlu adanya aturan-aturan yg tertulis dan mengikat akibat pengaruh globalisasi yg kebablasan tanpa batas yaitu dengan mengembalikan 7 (tujuh) kata kunci yg terdapat dalam Piagam Jakarta yg dulu pernah disepakati oleh tokoh-tokoh kemerdekaan dan ditanda tangani pada 1 Juni 1945 yaitu dengan kata-kata mengikatnya tentang ke Tuhanan yang Mewajibkan Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya. Dan itu merupakan kata-kata ampuh untuk meredam semua kekacauan-kekacauan yg diakibatkan oleh pengaruh globalisasi dan mengikat individu masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim yg merupakan kunci maju atau mundurnya bangsa Indonesia saat ini.
Dengan mengembalikan Tuhan bertahta dalam hidup kita, maka dewa-dewi globalisasi yang destruktif akan menyingkir dari kehidupan kita. Kita harus mensyukuri keberadaan kita sebagai orang beragama dan ber-Tuhan, karena selalu tersedia kesempatan untuk mengelakkan diri dari pengaruh buruk globalisasi dengan pendampingan dari agama asli yang kita yakini.
Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa.
Kesimpulan
Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.
Dosen dari Universitas Ohio Elizabeth Fuller Collins berpendapat bahwa globalisasi berdampak negative. Collins menyebutkan bahwa dampak negatif globalisasi adalah bahwa kapitalisme pasar bebas yang bersanding manis dengan istilah  ekonomi neoliberal  memperlakukan tenaga kerja, uang, tanah dan sumber alam sebagai faktor produksi semata atau komoditas yang diperjual belikan. Akibatnya, Suplay dan demand dari tenaga kerja, uang, tanah dan sumber alam akan ditentukan dan menentukan harga di pasaran. Dampak langsung yang diakibatkan kondisi ini adalah krisis finansial, instabilitas politik, dan ancaman kelestarian lingkungan.
Yang di perlukan untuk menghadapi dampak negatif globalisasi adalah dengan menghayati sifat ketahanan nasional dalam pikiran, lisan dan perbuatan. Sifat-sifat dari rasa nasioalisme itu sendiri adalah mandiri, dinamis, wibawa, konsultasi dan kerjasama.
Kepustakaan
Maskan, akan dkk, Pendidikan Kewarganegaraan,2002.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

0 komentar: