Selasa, 29 Januari 2013

liska dan pangeran cilik "Azzam"











kata hati

lantas apalagi yang kau tunggu liska?
berharap?
tidak cukupkah pengorbanan bapak dan ibuk selama ini?
tidak cukupkah perhatian yang sudah beliau berikan selama ini hingga kau berharap perhatian dari yang lain?
Hentikan kebodohanmu!!!
aku sadar kamu adalah wanita, dan pada umumnya wanita ingin mendapat perhatian dari seorang laki2 yang dicintainya.
ya..laki2 yang selalu memberi perhatian dan memberi dukungan disetiap langkahmu.
Tapi tidak harus sekarang kan?
nanti jika tiba saatnya kau akan mendapatkan yang lebih dari yang kamu inginkan.
jangankan perhatian, dukungan, bahkan dia akan menemanimu kapanpun kau mau.
 :)
come on girls..
selama ini aku tahu kamu bukanlah wanita lemah, kamu kuat liska!
kamu wanita hebat dengan semangat dan usaha yang keras untuk mewujudkan mimpi2mu.
Apakah kamu mau kalah dan hancur gara2 perasaan bodoh ini?
Bangkitlah dan jangan biarkan perasaan ini mengganggumu!!
percuma kamu memikirkan untuk hal-hal yang yang tidak pasti.
Mimpi2 yang kamu tuliskan akan lebih nyata dibandingkan dengan pengharapan2mu selama ini.
yakinlah dan wujudkan mimpi2mu.
Tunjukkan pada dunia bahwa kau layak untuk diandalkan.


#ditulis untuk menyemangati diri sendiri

Senin, 28 Januari 2013

Mioma Uteri


BAB II
TINJAUAN TEORI


A.    Pengertian Mioma Uteri
§  Mioma uteri adalah neoplasma yang berasal
dari otot uterus dan jaringan ikat yang
menumpangnya sehingga dapat disebut juga
leiomioma, fibromioma, atau fibroid
(Wiknjosastro, 2005).
§  Leiomyoma atau mioma uteri adalah tumor jinak uterus yang berbatas tegas, disebut juga
fobroid, mioma, fibroma, dan fibromioma
(Pierce, 2005).
§  Mioma uteri merupakan tumor jinak otot rahim,
disertai jaringan ikatnya, sehingga dapat dalam
bentuk padat karena jaringan ikatnya dominan dan lunak serta otot rahimnya dominan
( Manuaba, 2010).
§  Mioma uteri adalah neoplasma jinak yang
berasal dari otot uterus dan jaringan ikat
sehingga dalam kepustakaan disebut juga
leiomioma, fibromioma, atau fibroit (Mansjoer, 2002).
§  Mioma uteri adalah suatu tumor jinak uterus
yang berbatas tegas, memiliki kapsul, terbentuk
dari otot polos dan elemen jaringan penyambung
fibrosa (Taber, 1994).
§  Mioma uteri adalah tumor jinak otot polos uterus yang dilipat oleh pseudo kapsul, yang
berasal dari sel otot polos yang imatur. Dengan
nama lain leiomioma, fibroid dan fibromioma
(Thomas, 1992).
§  Menurut Saifuddin (2008), mioma uteri adalah
neoplasma yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang menumpangnya sehingga
dapat disebut juga leiomioma, fibromioma, atau
fibroid. Pertumbuhan mioma dapat mencapai
berat lebih dari 5 kg. Jarang sekali mioma
ditemukan pada wanita berumur 20 tahun,
paling banyak berumur 35-45tahun (25%). Pertumbuhan mioma diperkirakan memerlukan
waktu 3 tahun agar dapat mencapai ukuran
sebesar tinja, akan tetapi beberapa kasus ternyata
tumbuh cepat. Mioma uteri lebih sering didapati
pada wanita nulipara atau yang kurang subur.

  1. Etiologi
Menurut Manuaba (2010), faktor-faktor penyebab
mioma uteri belum diketahui, namun ada 2 teori
yang menjelaskan faktor penyebab mioma uteri,
yaitu:
1)    Teori Stimulasi
Berpendapat bahwa estrogen sebagai faktor etiologi dengan alasan:
a.       Mioma uteri sering kali tumbuh lebih cepat
pada masa hamil.
b.      Neoplasma ini tidak pernah ditemukan
sebelum monarche.
c.       Mioma uteri biasanya mengalami atrofi sesudah menopause.
d.      Hiperplasia endometrium sering ditemukan
bersama dengan mioma uteri.
2)    Teori Cellnest atau Genitoblas
Terjadinya mioma uteri tergantung pada sel-sel
otot imatur yang terdapat pada cell nest yang selanjutnya dapat dirangsang terus menerus oleh
estrogen.

Selain teori tersebut, menurut Muzakir (2008)
faktor risiko yang menyebabkan mioma uteri
adalah:
1)      Usia penderita Mioma uteri ditemukan sekitar 20% pada wanita
usia reproduksi dan sekitar 40%-50% pada
wanita usia di atas 40 tahun. Mioma uteri jarang
ditemukan sebelum menarke (sebelum
mendapatkan haid). Sedangkan pada wanita
menopause mioma uteri ditemukan sebesar 10%.
2)      Hormon endogen (Endogenous Hormonal)
Mioma uteri sangat sedikit ditemukan pada
spesimen yang diambil dari hasil histerektomi
wanita yang telah menopause, diterangkan
bahwa hormon esterogen endogen pada wanita- wanita menopause pada level yang rendah/
sedikit (Parker, 2007). Otubu et al menemukan
bahwa konsentrasi estrogen pada jaringan
mioma uteri lebih tinggi dibandingkan jaringan
miometrium normal terutama pada fase
proliferasi dari siklus menstruasi (Djuwantono, 2004).
3)      Riwayat Keluarga
Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama
dengan penderita mioma uteri mempunyai 2,5
kali kemungkinan untuk menderita mioma
dibandingkan dengan wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri. Penderita
mioma yang mempunyai riwayat keluarga
penderita mioma mempunyai 2 (dua) kali lipat
kekuatan ekspresi dari VEGF-α (a myoma-related
growth factor) dibandingkan dengan penderita
mioma yang tidak mempunyai riwayat keluarga penderita mioma uteri (Parker, 2007).
4)      Indeks Massa Tubuh (IMT)
Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma
uteri. Hal ini mungkin berhubungan dengan
konversi hormon androgen menjadi esterogen
oleh enzim aromatease di jaringan lemak (Djuwantono, 2004). Hasilnya terjadi peningkatan
jumlah esterogen tubuh yang mampu
meningkatkan pprevalensi mioma uteri (Parker,
2007).
5)      Makanan
Beberapa penelitian menerangkan hubungan antara makanan dengan prevalensi atau
pertumbuhan mioma uteri. Dilaporkan bahwa
daging sapi, daging setengah matang (red meat),
dan daging babi menigkatkan insiden mioma
uteri, namun sayuran hijau menurunkan insiden
mioma uteri. Tidak diketahui dengan pasti apakah vitamin, serat atau phytoestrogen
berhubungan dengan mioma uteri (Parker,
2007).
6)      Kehamilan
Kehamilan dapat mempengaruhi mioma uteri
karena tingginya kadar esterogen dalam kehamilan dan bertambahnya vaskularisasi ke
uterus kemungkinan dapat mempercepat
terjadinya pembesaran mioma uteri (Manuaba,
2010).
7)      Paritas
Mioma uteri lebih banyak terjadi pada wanita dengan multipara dibandingkan dengan wanita
yang mempunyai riwayat frekuensi melahirkan 1
(satu) atau 2 (dua) kali.
8)      Kebiasaan merokok
Merokok dapat mengurangi insiden mioma uteri.
Diterangkan dengan penurunan bioaviabilitas esterogen dan penurunan konversi androgen
menjadi estrogen dengan penghambatan enzim
aromatase oleh nikotin (Parker, 2007).

  1. Manifestasi Klinis
Faktor-faktor yang menimbulkan gejala klinis ada
3, yaitu :
1.      Besarnya mioma uteri.
2.      Lokalisasi mioma uteri.
3.      Perubahan pada mioma uteri.
Gejala-gejala yang timbul tergantung dari lokasi mioma uteri (cervikal, intramural, submucous),
digolongkan sebagai berikut:
1)      Perdarahan abnormal
Perdarahan abnormal yaitu menoragia,
menometroragia dan metroragia. Perdarahan
sering bersifat hipermenore dan mekanisme perdarahan tidak diketahui benar. Faktor-faktor
yang mempengaruhinya yaitu telah meluasnya
permukaan endometrium dan gangguan dalam
kontraktibilitas miometrium (Manuaba, 2010).
2)      Rasa nyeri pada pinggang dan perut bagian
bawah, dapat terjadi jika : a. Mioma menyempitkan kanalis servikalis
b. Mioma submukosum sedang dikeluarkan dari
rongga rahim
c. Adanya penyakit adneks, seperti adneksitis,
salpingitis, ooforitis
d. Terjadi degenerasi merah.
3)      Tanda-tanda penekanan/pendesakan
Terdapat tanda-tanda penekanan tergantung dari
besar dan lokasi mioma uteri. Tekanan bisa terjadi pada traktus urinarius, pada usus, dan
pada pembuluh-pembuluh darah. Akibat tekanan
terhadap kandung kencing ialah distorsi dengan
gangguan miksi dan terhadap uretes bisa
menyebabkan hidro uretre.
4)      Infertilitas Infertilitas bisa terajadi jika mioma intramural
menutup atau menekan pors interstisialis tubae.
5)      Abortus
Abortus menyebabkan terjadinya gangguan
tumbuh kembang janin dalam rahim melalui
plasenta.
6)      Gejala sekunder
Gejala sekunder yang muncul ialah anemia
karena perdarahan, uremia, desakan ureter
sehingga menimbulkan gangguan fungsi ginjal. D. Patofisiologi Mioma memiliki reseptor estrogen yang lebih
banyak disbanding miometrium normal. Teori
cell nest atau teori genitoblat membuktikan
dengan pemberian estrogen ternyata
menimbulkan tumor fibromatosa yang berasal
dari sel imatur. Mioma uteri terdiri dari otot polos dan jaringan yang tersusun seperti konde diliputi
pseudokapsul. Mioma uteri lebih sering
ditemukan pada nulipara, faktor keturunan juga
berperan. Perubahan sekunder pada mioma uteri
sebagian besar bersifaf degeneratif karena
berkurangnya aliran darah ke mioma uteri. Menurut letaknya, mioma terdiri dari mioma
submukosum, intramular dan subserosum
(Manuaba, 2010)

  1. Komplikasi
Manuaba (2010) berpendapat bahwa mioma
uteri dapat berdampak pada kehamilan dan
persalinan, yaitu:
1.      Mengurangi kemungkinan wanita menjadi
hamil, terutama pada mioma uteri submukosum.
2.      Kemungkinan abortus bertambah.
3.      Kelainan letak janin dalam rahim, terutama
pada mioma yang besar dan letak subserus.
4.      Menghalang-halangi lahirnya bayi, terutama
pada mioma yang letaknya di serviks.
5.      Inersia uteri dan atonia uteri, terutama pada
mioma yang letaknya di dalam dinding rahim atau apabila terdapat banyak mioma.
6.      Mempersulit lepasnya plasenta, terutama pada
mioma yang submukus dan intramural.

Menurut Manuaba (2010), kehamilan dan
persalinan juga dapat berdampak pada mioma
uteri, yaitu:
  1. Tumor bertumbuh lebih cepat dalam
    kehamilan akibat hipertrofi dan edema, terutama
    dalam bulan-bulan pertama, mungkin kaena
    pengaruh hormonal. Setelah kehamilan 4 bulan
    tumor tidak bertambah besar lagi.
  2. Tumor menjadi lebih lunak dalam kehamilan, dapat berubah bentuk, dan mudah terjadi
    gangguan sirkulasi di dalamnya, sehingga terjadi
    perdarahan dan nekrosis, terutama ditengah-
    tengah tumor. Tumor tampak merah (degenerasi
    merah) atau tampak seperti daging (degenerasio
    karnosa). Perubahan ini menyebabkan rasa nyeri di perut yang disertai gejala-gejala rangsangan
    peritonium dan gejala-gejala peradangan,
    walaupun dalam hal ini peradangan bersifat suci
    hama (sterile). Lebih sering lagi komplikasi ini
    terjadi dalam masa nifas karena sirkulasi dalam
    tumor mengurang akibat perubahan-perubahan sirkulasi yang dialami oleh wanita setelah bayi
    lahir.
  3. Mioma uteri subserosum yang bertangkai
    dapat mengalami putaran tangkai akibat desakan
    uterus yang makin lama makin membesar. Torsi
    menyebabkan gangguan sirkulasi yang nekrosis yang menimbulkan gambaran klinik perut
    mendadak (acute abdomen).

  1. Penatalaksanaan
Penanganan mioma menurut usia, paritas,
lokasi dan ukuran tumor
Penanganan mioma uteri tergantung pada usia,
paritas, lokasi dan ukuran tumor, dan terbagi
atas :
a.       Penanganan konservatif, yaitu dengan cara :
1)      Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara
periodik setiap 3-6 bulan.
2)      Monitor keadaan Hb.
3)      Pemberian zat besi.
4)      Penggunaan agonis GnRH, agonis GnRH
bekerja dengan menurunkan regulasi gonadotropin yang dihasilkan oleh hipofisis
anterior. Akibatnya, fungsi ovarium menghilang
dan diciptakan keadaan menopause yang
reversibel. Sebanyak 70% mioma mengalami
reduksi dari ukuran uterus telah dilaporkan
terjadi dengan cara ini, menyatakan kemungkinan manfaatnya pada pasien
perimenopausal dengan menahan atau
mengembalikan pertumbuhan mioma sampai
menopause yang sesungguhnya mengambil alih.
Tidak terdapat resiko penggunaan agonis GnRH
jangka panjang dan kemungkinan rekurensi mioma setelah terapi dihentikan tetapi, hal ini
akan segera didapatkan dari pemeriksaan klinis
yang dilakukan.
b.      Penanganan operatif
Intervensi operasi atau pembedahan pada
penderita mioma uteri adalah:
1)      Perdarahan uterus abnormal yang
menyebabkan penderita anemia.
2)      Nyeri pelvis yang hebat.
3)      Ketidakmampuan untuk mengevaluasi
adneksa (biasanya karena mioma berukuran
kehamilan 12 minggu atau sebesar tinju dewasa).
4)      Gangguan buang air kecil (retensi urin).
5)      Pertumbuhan mioma setelah menopause.
6)      Infertilitas.
7)      Meningkatnya pertumbuhan mioma.
         Jenis operasi yang dilakukan pada mioma uteri dapat berupa :

  1. Miomektomi
Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma
tanpa pengangkatan rahim/uterus. Miomektomi
lebih sering di lakukan pada penderita mioma
uteri secara umum. Suatu studi mendukung miomektomi dapat dilakukan pada wanita yang
masih ingin bereproduksi tetapi belum ada
analisa pasti tentang teori ini tetapi
penatalaksanaan ini paling disarankan kepada
wanita yang belum memiliki keturunan setelah
penyebab lain disingkirkan.
  1. Histerektomi.
Histerektomi adalah tindakan operatif yang
dilakukan untuk mengangkat rahim, baik
sebahagian (subtotal) tanpa serviks uteri ataupun
seluruhnya (total) berikut serviks uteri.
Histerektomi dapat dilakukan bila pasien tidak menginginkan anak lagi, dan pada penderita
yang memiliki mioma yang simptomatik atau
yang sudah bergejala.

Kriteria menurut American College of
Obstetricians Gynecologists (ACOG) dalam
Chelmow (2005) untuk histerektomi adalah sebagai berikut :
a)      Terdapatnya 1 sampai 3 mioma asimptomatik
atau yang dapat teraba dari luar dan dikeluhkan
oleh pasien.
b)      Perdarahan uterus berlebihan, meliputi
perdarahan yang banyak dan bergumpal-gumpal atau berulang-ulang selama lebih dari 8 hari dan
anemia akibat kehilangan darah akut atau kronis.
c)      Rasa tidak nyaman di pelvis akibat mioma
uteri meliputi nyeri hebat dan akut, rasa tertekan
punggung bawah atau perut bagian bawah yang
kronis dan penekanan pada vesika urinaria mengakibatkan frekuensi miksi yang sering.

Penatalaksanaan mioma uteri pada wanita hamil
Selama kehamilan, terapi awal yang memadai
adalah tirah baring, analgesia dan observasi
terhadap mioma. Penatalaksanaan konservatif selalu lebih disukai apabila janin imatur. Namun,
pada torsi akut atau perdarahan intra abdomen
memerlukan interfensi pembedahan. Seksio
sesarea merupakan indikasi untuk kelahiran
apabila mioma uteri menimbulkan kelainan letak
janin, inersia uteri atau obstruksi mekanik (Taber, 1994).

  1. Pemeriksaan Penunjang Menurut Mansjoer (2002), pemeriksaan yang
    dilakukan pada kasus mioma uteri adalah :
1)      Pemeriksaan Darah Lengkap : Hb turun,
Albumin turun, Lekosit turun/meningkat, Eritrosit
turun.
2)      USG : terlihat massa pada daerah uterus.
3)      Vaginal Toucher : didapatkan perdarahan
pervaginam, teraba massa, konsistensi dan
ukurannya.
4)      Sitologi : menentukan tingkat keganasan dari
sel-sel neoplasma tersebut.
5)      Rontgen : untuk mengetahui kelainan yang mungkin ada yang dapat menghambat tindakan
operasi.
6)      ECG : Mendeteksi kelainan yang mungkin
terjadi, yang dapat mempengaruhi tindakan
operasi.
7)      Ultrasonografi. Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal
bermanfaat dalam menetapkan adanya mioma
uteri. Ultrasonografi transvaginal terutama
bermanfaat pada uterus yng kecil. Uterus atau
massa yang paling besar paling baik diobservasi
melalui ultrasonografi transabdominal. Mioma uteri secara khas menghasilkan gambaran ultrasonografi yang mendemonstrasikan
irregularitas kontur maupun pembesaran uterus.
Adanya kalsifikasi ditandai oleh fokus-fokus
hiperekoik dengan bayangan akustik. Degenerasi
kistik ditandai adanya daerah yang hipoekoik.
8)      Histeroskopi
Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat adanya
mioma uteri submukosa, jika tumornya kecil
serta bertangkai. Tumor tersebut sekaligus dapat
diangkat.
9)      MRI (Magnetic Resonance Imaging) MRI sangat akurat dalam menggambarkan
jumlah,ukuran dan lokasi mioma, tetapi jarang
diperlukan. Pada MRI, mioma tampak sebagai
massa gelap terbatas tegas dan dapat dibedakan
dari miometrium yang normal. MRI dapat
mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma
submukosa. MRI dapat menjadi alternatif
ultrasonografi pada kasus -kasus yang tidak
dapat disimpulkan.

DAFTAR PUSTAKA


Belibis A-17.
Parker, W. H., 2007. ”Etiology,
Symptomatology and Diagnosis of Uterine
Myomas”. Volume 87. Department of Obstetrics and gynecology UCLA School of
Medicine. California : American Society for
Reproductive Medicine.
Chelmow. D. 2005. Gynecologic Myomectom. http://www.emedicine.com/med/
topic3319.html. di akses 8 April 2011.
Djuwantono, T., 2004. “Terapi GnRH Agonis
Sebelum Histerektomi atau Miomektomi.
Farmacia”. Riau: Digillib FK Riau.
Mansjoer, Arif, dkk., 2002. Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Manuaba, I. B., 2007. Ilmu Kebidanan,
Penyakit Kandungan, dan Keluarga
Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta:
EGC.
Muzakir, 2008. “Profil Penderita Mioma Uteri
di RSUD Arifin Achmad Riau”. Riau: FK riau
Pierce, S. A., 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC.
Ran Ok L, Gyung Il P, Jong Chul K, et-al.
Clinico Statistical Observation of Uterine.
Korean Medical Database. Http://
www.Medric.or.kr. Last Update : Jul, 2007.
Diakses tanggal : 8 April 2011
Saifuddin, AB. 1999. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Taber BZ. 1994. Kapita selekta Kedaruratan
Obstetri dan Ginekologi. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Thomas EJ. 2007. ”The aetiology and
phatogenesis of fibroids. In : Shaw RW. eds. Advences in reproduktive endocrinology
uterine fibroids.”England – New Jersey : BMJ.
Wiknjosastro, hanifa, 2009. Ilmu Kebidanan.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiryoharjo.

Rabu, 23 Januari 2013

hiperbilirubin

-->
BAB I
PENDAHULUAN

            Ikterus merupakan suatu gejala yang sering ditemukan pada Bayi Baru Lahir (BBL). Menurut beberapa penulis kejadian ikterus pada BBL berkisar 50 % pada bayi cukup bulan dan 75 % pada bayi kurang bulan.
            Perawatan Ikterus  berbeda diantara negara tertentu, tempat pelayanan tertentu dan waktu tertentu. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pengelolaan pada BBL, seperti ; pemberian makanan dini, kondisi ruang perawatan, penggunaan beberapa propilaksis  (misal; luminal) pada ibu dan bayi, fototherapi dan transfusi pengganti.
            Asuhan keperawatan pada klien selama post partum yang relatif singkat, sehingga klien dan keluarga harus dibekali pengetahuan, ketrampilan dan informasi tempat rujukan, cara merawat bayi dan dirinya sendiri selama di rumah sakit dan perawatan di rumah. 
            Perawat sebagai salah satu anggota tim kesehatan mempunyai peranan dalam memberikan asuhan  keperawatan secara paripurna. Untuk itu  dalam penulisan makalah ini mempunyai maksud :
1.      Agar perawat memiliki intelektual dan mampu menguasai ketrampilan dan tehnik terutama yang berkaitan dengan perawatan klien dan keluarga dengan bayi  Ikterus (Hiperilirubinemia),
2.      Agar Perawat mampu mempersiapkan klien dan keluarga ikut serta dalam proses perawatan selama di Rumah Sakit dan perawatan lanjutan di rumah.
            Adapun dalam pembahasannya akan menguraikan  bagaimana memberikan Asuhan Keperawatan    pada  klien dengan bayi  Hyperbilirubinemia  yang mendapat  Fototherapi.
           
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Batasan-Batasan
1.      Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut  (Hanifa, 1987): 
·         Timbul pada hari kedua-ketiga
·         Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.
·         Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
·         Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
·         Ikterus hilang pada 10 hari pertama
·         Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu

2.      Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia
Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus bila tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan Hiperbilirubinemia  bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.

3.      Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus  Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.

B.  Jenis-jenis Ikterus Menurut Waktu Terjadinya
1.      Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
·         Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama sebagian besar disebabkan oleh :
·         Inkompatibilitas darah Rh,ABO, atau golongan lain
·         Infeksiintra uterine
·         Kadang-kadang karena defisiensi enzim G-6-PD
2.      Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
·         Biasanya ikterus fisiologis
·         Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain
·         Defisiensi enzim G-6-PD atau enzim eritrosit lain juga masih mungkin.
·         Policitemia
·         Hemolisis perdarahan tertutup *(perdarahan subaponerosis,perdarahan hepar, sub capsula dll)
3.      Iktersua yang timbul sesudah 72 jam pertama  sampai akhir minggu pertama
·         Sepsis
·         Dehidrasi dan asidosis Defisiensi G-6-PD
·         Pegaruh obat-obatan
·         Sindroma Criggler-Najjar , sindroma Gilbert
4.      Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
·         Ikterus obtruktive
·         Hipotiroidisme
·         Breast milk jaundice
·         Infeksi
·         Hepatitis neonatal
·         Galaktosemia

C. Metabolisme Bilirubin         
            Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi  Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site).
            Pada bayi yang normal dan sehat  serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.

D. Patofisiologi Hiperbilirubinemia

            Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan . Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
            Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
            Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari  20 mg/dl.
            Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus.  Bilirubin  Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi  terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991).

E. Etiologi
  1. Peningkatan produksi :
·         Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian  golongan darah ibu dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.
·         Pendarahan tertutup  misalnya pada trauma kelahiran.
·         Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan  metabolik yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
·         Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
·         Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta) , diol (steroid).
·         Kurangnya  Enzim Glukoronil  Transeferase , sehingga  kadar Bilirubin Indirek  meningkat misalnya pada berat lahir rendah.
·         Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
  1. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan  misalnya pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine.
  2. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme  atau toksion yang dapat langsung merusak sel hati  dan darah merah seperti Infeksi , Toksoplasmosis, Siphilis.
  3. Gangguan ekskresi  yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif

F. Penata Laksanaan Medis
            Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :
1.      Menghilangkan Anemia
2.      Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3.      Meningkatkan Badan Serum Albumin
4.      Menurunkan Serum Bilirubin
            Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.

Fototherapi
            Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a boun of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
            Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.
            Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa  ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.

Tranfusi  Pengganti
            Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
1.      Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
2.      Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
3.      Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
4.      Tes Coombs Positif
5.      Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
6.      Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
7.      Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
8.      Bayi dengan Hidrops saat lahir.
9.      Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.

Transfusi Pengganti digunakan untuk :
1.      Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
2.      Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
3.      Menghilangkan Serum Bilirubin
4.      Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan Bilirubin

            Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.


Therapi Obat
            Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi).
Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus Enterohepatika.



DAFTAR PUSTAKA
1.      H. Markum : ” Ilmu Kesehatan Anak”. Buku I, Jakarta, FKUI, 1991.
2.      Bobak, J. : ”Materity and Gynecologic Care”, Precenton, 1985.
3.      Cloherty, P. John : ”Manual of Neonatal Care”, USA, 1981.
4.      Sally B. Olds, et all :  ”Maternal New Born Nursing”, Edisi ke III, USA, 1994.
5.      Jack A. Pritchard dkk : ”Obstetri Williams”, Edisi XVII, Surabaya, Airlangga University Press, 1991
6.      Marlene Mayers, et. al. : ”Clinical Care Planes Pediatric Nursing”, New York, Mc.Graw-Hill. Inc, 1995.
7.      Mary Fran Hazinki : ”Nursing Care of Critically Ill Child”, Toronto, The Mosby Compani CV, 1984.
8.      Susan R. J. et. al. : ”Child Health Nursing”, California, 1988.
9.      Donna L. Wong: “Nursing Care of Infants and Children”, Edisi V,  Toronto, The Mosby Compani CV, 1995
10.  Prawirohadjo Sarwono : “Ilmu Kebidanan”, Edisi ke III, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1992