MEMINIMALISIR DAMPAK NEGATIF dari
GLOBALISASI
Abstrak
Globalisasi
adalah sebuah istilah
yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan
antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan,
investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain
sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.
Globalisasi
mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya
aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang
dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat
terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan
aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran.
Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa
tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran
orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan
seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.
Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai
dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world
culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia
ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai
tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ).
Pendahuluan
Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil
dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman
menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau
perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh
wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar
definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana
orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau
proses sejarah atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara
di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru
atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi
dan budaya masyarakat.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah
proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang
memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini,
globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir.
Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan
negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab,
globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan
berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore
Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada
tahun 1985.
Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi
yang dimaksudkan orang dengan globalisasi:
- Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai
meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini masing-masing negara
tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin
tergantung satu sama lain.
- Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan
dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif
ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
- Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan
sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh
dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh
dunia.
- Westernisasi: Westernisasi adalah salah
satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan
budaya dari barat sehingga mengglobal.
- Hubungan
transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di
atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih
mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia
global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan
negara-negara.
Sejarah globalisasi
Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena
di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional.
Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antarbangsa di dunia telah ada
sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah
tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antarnegeri sekitar tahun 1000
dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Tiongkok dan India mulai menelusuri
negeri lain baik melalui jalan darat (seperti misalnya jalur sutera) maupun
jalan laut untuk berdagang. Fenomena berkembangnya perusahaan McDonald di
seluroh pelosok dunia menunjukkan telah terjadinya globalisasi.
Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan kaum
muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang
antara lain meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Malaka, India,
Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia, dan Genoa. Di samping
membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai
agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga
dunia.
Fase selanjutnya ditandai dengan eksplorasi dunia secara
besar-besaran oleh bangsa Eropa. Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda adalah
pelopor-pelopor eksplorasi ini. Hal ini didukung pula dengan terjadinya
revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan antarbangsa dunia. berbagai
teknologi mulai ditemukan dan menjadi dasar perkembangan teknologi saat ini,
seperti komputer dan internet. Pada saat itu, berkembang pula kolonialisasi di
dunia yang membawa pengaruh besar terhadap difusi kebudayaan di dunia.
Di Indonesia sejak politik pintu terbuka,
perusahaan-perusahaan Eropa membuka berbagai cabangnya di Indonesia. Freeport
dan Exxon dari Amerika Serikat, Unilever dari Belanda, British Petroleum dari
Inggris adalah beberapa contohnya. Perusahaan multinasional seperti ini tetap
menjadi ikon globalisasi hingga saat ini.
Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya
ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia runtuh. Runtuhnya
komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik
dalam mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara negara di dunia
mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan perkembangan
teknologi komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat antarnegara pun
mulai kabur.
Ciri
globalisasi
Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin
berkembangnya fenomena globalisasi di dunia.
Hilir
mudiknya kapal-kapal pengangkut barang antarnegara menunjukkan keterkaitan
antarmanusia di seluruh dunia
- Perubahan
dalam Konstantin ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti
telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global
terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam
turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
- Pasar dan
produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung
sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan
pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam world
trade organization (WTO).
- Peningkatan
interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi,
film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini,
kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai
hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion,
literatur, dan makanan.
- Meningkatnya
masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis
multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada
globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu.
Teori globalisasi
Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat
tiga posisi teoritis yang dapat dilihat, yaitu:
- Para globalis percaya bahwa
globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata
terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan. Mereka
percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa
kebudayaan dan ekonomi global yang homogen. meskipun demikian, para
globalis tidak memiliki pendapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses
tersebut.
Ø Para globalis positif dan optimistis menanggapi dengan baik
perkembangan semacam itu dan menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarakat
dunia yang toleran dan bertanggung jawab.
Ø Para globalis pesimis berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah
fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya adalah bentuk penjajahan barat
(terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi
yang homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar dipermukaan. Beberapa dari
mereka kemudian membentuk kelompok untuk menentang globalisasi antiglobalisasi.
- Para tradisionalis tidak percaya bahwa
globalisasi tengah terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah
sebuah mitos semata atau, jika memang ada, terlalu dibesar-besarkan.
Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah fenomena
internasional selama ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini
hanyalah merupakan tahap lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital.
- Para transformasionalis berada di
antara para globalis dan tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh
globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun,
mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal keberadaan
konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya
dipahami sebagai "seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan
murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara
langsung". Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik,
terutama ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dikendalikan.
Analisis
Situasi
Dalam indeks globalisasi tahunan
yang dikeluarkan AT Kearney/Foreign Policy 2003-2006, posisi Indonesia tidak
berubah, yakni peringkat ke-3 dari belakang (least globalized country).
Indonesia menduduki urutan 60 dari 62 negara.
Dalam
daftar indeks globalisasi KOF 2007, posisi Indonesia pada urutan 78 dari 122
negara. Peringkat globalisasi ini didasarkan pada data tahun 1970 hingga 2004
dengan 25 variabel.
Beberapa
waktu terakhir ini muncul berbagai fenomena disintegrasi di Indonesia, mulai
dari peperangan antar etnis, tuntutan merdeka, pertikaian antar ras, konflik
antaragama, hingga konflik politik lokal.
Dari
fenomena tersebut maka konsep nasionalisme menjadi sangat relevan untuk
dibicarakan kembali setelah sekian lama hilang dalam hingar bingar euforia
reformasi. Membangkitkan kembali perasaan nasionalisme akan menguatkan kembali
solidaritas warga negara suatu bangsa.
Peradaban
baru
Nasionalisme menghadapi tantangan besar dari pusaran
peradaban baru bernama globalisasi. Nasionalisme sebagai basic drive bangsa
Indonesia sedang diuji fleksibilitasnya. Nasionalisme dituntut untuk
bermetamorfosis saat globalisasi memaksa individu melepaskan diri dari
keterikatannya dengan nation-state.
Globalisasi telah melahirkan proses deteritorialisasi yang
menghapus keterikatan individu dengan wilayah dan negaranya. Identitas budaya
yang bisa menjadi perangkai identitas komunal yang merekat keterikatan dengan
nation-state telah retas karena muncul kebudayaan baru yang tidak lagi
berangkat dari identitas sendiri.
Setiap individu menjadi dan mengonsumsi identitas yang lain,
sehingga identitas nasional mejadi kabur. Nasionalisme pun sebagai sebuah
ideologi menjadi sangat kabur sejalan mengkaburnya identitas nasional
digantikan identitas global. Boleh dikatakan telah muncul nasionalisme global
yang tak lagi dibatasi oleh nation-state (bangsa-negara).
Uniknya., di tengah proses mengglobal itu muncullah
kesadaran baru yang berlawanan dengan proses mengglobal itu, yaitu penguatan
identitas lokal yang semakin intensif. Muncullah nasionalisme baru yang
merupakan tandingan atau perlawanan terhadap nasionalisme global, yaitu
etnonasionalisme.
Etnonasionalisme ini muncul atas kesadaran lokal yang
mengedepankan kepentingan lokal dibandingkan kepentingan nasional.
Etnonasionalisme di Indonesia semakin mendapat jalan lempang saat munculnya isu
otonomi daerah yang mau tak mau mendorong kesadaran lokal.
Tentu saja tidak pada tempatnya untuk menilai apakah
nasionalisme global dan etnosionalisme itu merupakan virus yang berbahaya atau
tidak. Namun yang jelas kedua proses tersebut tak dapat dihindari dan harus
dihadapi oleh semua bangsa, tak luput juga Indonesia. Maka, tampaklah bahwa
nasionalisme di Indonesia berada dalam dua himpitan besar yang saling tarik
menarik dengan kuat yaitu globalisasi dan etnonasionalisasi.
Hingga kini Indonesia tidak memiliki visi dalam menghadapi globalisasi.
Ia hanya dilihat selayang pandang, belum pernah diurai bagaimana peluang dan
tantangannya. Belum ada dokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah sebagai acuan
dalam menghadapi era globalisasi. Tidak ada analisis dan uraian memadai dalam
rencana pembangunan (RPJM/RPJP) yang membahas globalisasi meski hal itu
merupakan satu-satunya panduan bagi pemerintah dan masyarakat. Jadi,
kepentingan nasional harus dirumuskan kembali berupa strategi nasional
Indonesia di tengah gejolak globalisasi dan regionalisasi.
Masalah
Salah satu tokoh yang berpendapat
bahwa Globalisasi berdampak
negatif adalah Dosen dari Universitas Ohio Elizabeth Fuller Collins.
Collins menyebutkan bahwa dampak
negatif globalisasi adalah bahwa kapitalisme pasar bebas yang bersanding
manis dengan istilah ekonomi neoliberal memperlakukan tenaga kerja,
uang, tanah dan sumber alam sebagai faktor produksi semata atau komoditas yang diperjual
belikan. Akibatnya, Suplay dan demand dari tenaga kerja, uang,
tanah dan sumber alam akan ditentukan dan menentukan harga di pasaran. Dampak
langsung yang diakibatkan kondisi ini adalah krisis finansial,
instabilitas politik, dan ancaman kelestarian lingkungan.
Kekerasan
di mana-mana, teror di mana-mana, bukan hanya dalam bentuk bom yang meledak di
mana-mana, tetapi dalam bentuk lain seperti perampokan, pembunuhan, penculikan
dan semua bentuk kekerasan yang seolah sah dan wajar dalam kehidupan manusia
masa kini.
Kekerasan
bukan hanya terhadap sesame manusia tetapi juga terhadap lingkungan hidup kita.
Kalau kita misalnya merenungkan peristiwa banjir bandang dan longsor yang
menelan ratusan korban di Sumatera Utrara, maka nyatalah bahwa itu terjadi sebagai
akibat kekerasan manusia terhadap alam. Perambahan hutan sebagai salah satu
bentuk kekerasan manusia terhadap lingkungan telah membawa akibat yang sangat
fatal.
Kini erotisme seluruh dunia merupakan
anak kandung dari mammonisme yang menghalalkan segala cara mendapatkan uang.
Cyber-porno merupakan salah satu bisnis mengeksploitasi umat manusia demi uang.
Kalau ia hanya menjadi bisnis, mungkin tidak terlalu menjadi persoalan. Tetapi
pornografi telah merusak moral banyak manusia di dunia dengan
penggambaran-penggambaran yang tidak sehat dan tidak mendidik. Apa yang
ditonjolkannya hanyalah hedonisme dan kekerasan. Inilah dampak globalisasi yang
menyusup melalui komunikasi dan informasi di dunia maya yang melahirkan dewa
baru bernama Eros. Pemujuaan terhadap seks di dunia maya ini membawa nilai baru
dalam hubungan rumah tangga, hubungan laki-laki dan perempuan dan hubungan
antar- manusia seolah tanpa penghormatan terhadap gender.
Rupanya memang telah terjadi
pergeseran paradigma dalam soal agama. Agama lama yang masih formal diakui umat
manusia dan Allah atau Tuhan yang benar, sedang dimarginalisasi oleh dewa-dewi
baru, yang ternyata lebih menarik dan lebih meyakinkan banyak manusia di dunia.
Materi, kenikmatan, kekerasan dan erotisme sedang menguasai sanubari kita dan
ternyata semua itu tidak membuat kita menjadi manusia bebas melainkan menjadi
manusia yang semakin terpenjara dan terbelenggu. Karena itu, globalisasi dalam
bentuk dewa-dewi baru itu tidak lebih dari dewa-dewi palsu (pseudo-lords) yang
menyesatkan; yang karenanya seharusnya diwaspadai dan disiasati.supaya tidak
memerangkap kehidupan kita. Kita harus kembali memberi tempat pada Tuhan yang
asli dalam kehidupan kita, dalam relasi-relasi kita, baik relasi dengan sesama
manusia maupun dengan lingkungan hidup kita. Dengan memberi tempat pada Tuhan
yang asli dalam sanubari kita, maka relasi-relasi kemanusiaan kita yang asli
dan hakiki akan pulih dan akan memberikan kebebasan dan kemerdekaan yang sejati
kepada kita.
Globalisasi ibarat kanker, telah
menjalar dan menyusupi semua aspek kehidupan umat manusia. Bukan saja
masalahnya adalah persoalan ketidak-adilan dalam bidang ekonomi moneter, tetapi
globalisasi telah menimbulkan begitu banyak masalah, dengan kemajuan yang
luarbiasa di bidang informasi dan interaksi manusia. Stackhouse menyebutkan
adanya tiga dewa globalisasi yaitu dewa Mammon (materialisme), Mars
(perang/kekerasan) dan Eros (pornografi). Tiga dewa ini seringkali
berkolaborasi dalam kehidupan etika dan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga etika
dan kemanusiaan pada umunya tidak bermakna lagi sebagai norma kehidupan.
Materialisme misalnya, telah
menciptakan "malaekat" pembangunan yang mendorong orang ingin terus
berproduksi dan mengonsumsi supaya materi semakin menguasai kehidupan kita.
Dewa Mammon mungkin dapat dianggap sebagai dewa tertinggi dari dewa-dewi ini
karena dialah yang paling berjasa melahirkan dua dewa lainnya, bahkan masih
banyak lagi dewa-dewi globalisasi yang sedang lahir dan bermunculan, misalnya
dewa Hedonisme dan dewa Konsumerisme.
Mammonisme telah menjadi dewa yang
paling menguasai umat manusia. Sekarang ini materi seolah telah menjadi ukuran
segala sesuatu. Apa saja harus dibeli dan bisa di beli. Mereka yang tidak bisa
dibeli dan membeli adalah ateis yang tak bertuhan. Dalam masyarakat
mammonistik, agama resmi tinggal menjadi formalistik dan seremonistik. Nilai
agama itu telah diganti menjadi nilai Mammon, nilai uang. Tanpa uang Anda tidak
bisa menikmati sesuatu dan tanpa nikmat hidup menjadi seolah hampa. Itulah
hedonisme, suatu bentuk kehidupan yang mengagungkan kesenangan dan kenikmatan
belaka. Membeli dan dibeli, menikmati dan dinikmati, itulah tujuan hidup
mammonisme yang telah menyingkirkan semua tujuan hidup lainnya. Akibatnya,
hubungan kemanusiaan tidak lain dari hubungan materi. Tanpa materi, hubungan
dengan sesama manusia seolah tidak bernilai. Hubungan kemanusiaan seolah hanya
ditandai dengan "transaksi".
Pengaruh Globalisasi Terhadap Sosial Budaya di Indonesia
Nilai-nilai moral bangsa Indonesia yang terdahulu terkenal dengan adat ketimuran bangsa Indonesia yang mempunyai nilai-nilai budaya yang luhur, adab kesopanan yang tinggi, saat ini karena pengaruh globalisasi yg disusupin oleh gaya kapitalis dan misi satu negara yang sudah masuk ke dalam kebudayaan Indonesia dengan segala pemikiran liberalis yang akhirnya mengikis nilai-nilai budaya Indonesia yang bermartabat menuju pada moral bangsa yg rendah, karena tidak sesuai dengan idiologi Pancasila yg memiliki dasar ke Tuhanan dan telah dilanggar dengan pemikiran-pemikiran liberalis yang bebas mendefinisikan makna ke Tuhanan dan kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan pemikiran-pemikiran yg liberal yaitu berdasarkan hasil pemikiran individu atau kelompok dan bukan berdasarkan aturan hokum ke Tuhanan yang diajarkan oleh suatu agama. Terutama perubahan ini terlihat sekali memasuki wilayah aturan agama yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat Indonesia yaitu Islam. Kebebasan berfikir dan mendefinisikan amalan ibadah yang tidak sesuai dengan aturan/hukum yang sudah ditetapkan dalam ajaran islam ini, nampak jelas sekali sedang diupayakan untuk dirusak dan di selewengkan dengan mengatas-namakan toleransi dan hak asasi manusia dalam menjalankan amalan ibadahnya menurut keyakinannya sendiri dan dari hasil pemikirannya sendiri yang sudah dipengaruhi oleh gaya pemikiran Liberal yang mengusung kebebasan tanpa batas dan ini bertentangan sekali dengan norma-norma agama yang diajarkan pada umumnya dan norma ajaran islam pada khususnya yang mempunyai batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar karena dasar keimanan kepada Allah swt.
Pengaruh globalisasi di Indonesia yg sudah didominasi oleh gaya kapitalis dan pemikiran liberalis secara perlahan sudah berusaha menggrogoti nilai-nilai ideology Pancasila yang memiliki arti kemanusian yang adil dan beradab dengan menimbulkan banyak perubahan pada nilai-nilai kemanusiaan yang beradab kepada
nilai pemikiran Liberalis dan memberikan dampak kemerosotan moral menjadi tidak
beradab yaitu dengan maraknya pornografi dan pornoaksi yang mengatasnamakan
seni dan menungkir balikan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dengan adat ketimurannya yang dahulu selalu menjaga nilai kemanusiaan yg beradab, namun kini pengaruh kapitalis yang mengusung pemikiran liberalis dengan kebebasan tanpa batas, sesungguhnya sudah menurunkan arti peradaban bangsa Indonesia yang dahulu selalu dijunjung tinggi menjadi negara dengan kemerosotan moral yang
cukup tajam dan tidak sesuai dengan Ideologi Pancasila yang menganut faham keTuhanan YME yg seharusnya mengikat tiap-tiap individu masyarakat/bangsa dengan nilai-nilai ke Tuhanan yang sudah digariskan dalam satu ajaran agama yang mengikat dengan batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar. Dan gaya kapitalis dan liberalis sudah melanggar makna kemanusiaan yg beradab menjadi tidak beradab dengan melokalisir tempat-tempat perjudian dan perzinahan, dan mulai maraknya satu kelompok yang ingin melegalkan kaum homoseksual agar diakui keberadaannya di Indonesia, jelas bertentangan sekali dengan Ideologi Pancasila, khususnya sila ke Tuhanan YME dan kemanusiaan yg adil dan beradab.
Misi Kapitalis Dengan Pemikiran Liberalis
Gaya kapitalis dengan pasar bebasnya dan pemikiran liberalis yang tanpa batas dan disertakan dalam globalisasi, sudah menciptakan banyak malapetaka di Indonesia yaitu makin terpuruknya perekonomian Indonesia denga pasar bebasnya,
dimana kita tidak mampu bersaing dengan negara-negara yang mengusung misi tersebut dengan memberikan banyak persyaratan-persyaratan politik yang diajukan
oleh penyandang dana seperti IMF dan Bank Dunia, sehingga Indonesia hanya dijadikan sebagai koloni untuk memasarkan hasil-hasil industri negara-negara maju yg mengusung misi idiologi suatu negara tersebut, tanpa mampu menjual hasil industri negara Indonesia yg sudah dirobohkan sendi-sendi perekonomian di seluruh sector industri, keuangan maupun perdagangan dengan menggunakan kelompok-kelompok tertentu
Pengaruh globalisasi yang mengusung misi gaya kapitalis dan pemikiran liberalis berusaha ingin menghancurkan dan mengacaukan sendi-sendi agama mayoritas di Indonesia dengan kebebasan untuk memaknai ajaran agama berdasarkan pemikiran Liberal tanpa batas, justru telah melanggar aturan-aturan hokum agama yg telah digariskan oleh batasan-batasn yg tidak boleh dilanggar, karena keimanan kepada Allah swt. Dikarenakan agama dijalankan bukan sekedar
mengandalkan pemikiran semata, tapi memaknai agama harus dilengkapi dengan keimanan yg dibatasi oleh aturan-aturan yg dibuat oleh Allah dan tidak boleh di langgar oleh pemeluknya.
Pemikiran Liberalis yang tanpa batas sudah menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan dengan peradaban budaya timur Indonesia yang begitu tinggi dengan nilai kesopanan, tata krama yang diikat oleh aturan agama, tapi kini sudah terpuruk dengan moral yang rendah dan nilai etika serta adab yg jauh dari kesopanan maupun peradaban manusia yg mengkampanyekan pornografi dan pornoaksi dengan alasan seni, serta berusaha melegalkan kaum homoseksual untuk diakui keberadaannya, dan ajang-ajang miss universe yang mengumbar kemolekan tubuh dan dibingkai dengan latar belakang intelligent pendidikan yang tinggi, yg sebenarnya sudah melanggar batasan budaya Indonesia dan kaidah agama.
Dan melokalisir tempat-tempat perjudian dan kemaksiatan yang sesungguhnya sudah menanamkan bibit-bibit kebejadan moral individu suatu bangsa yang sudah tidak berbudaya apalagi ber ke Tuhanan, tanpa sadar sesungguhnya sudah mengkhianati dan mengikis habis arti dan makna Ideology Pancasila yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Pengaruh globalisasi yang ternyata mengusung misi politik suatu bangsa yang maju untuk masuk ke Indonesia, secara langsung sudah menggrogoti ideology
negara yaitu Pancasila dan tanpa sadar telah digantikan oleh gaya kapitalis dan saat ini Pancasila hanya akan dijadikan sebagai symbol negara yg tanpa makna, karena sudah tercabut jati dirinya yg memuat 5 dasar yg berisi tujuan dan cita-cita bangsa yg tertuang dalam UUD’45, sesungguhnya tanpa sadar saat ini Indonesia telah dijajah dengan penjajahan model baru yg secara jelas menghancurkan seluruh aspek pertahanan kita dari dalam dengan memanfaatkan satu kelompok-kelompok tertentu.
Akibat penjajahan dengan model baru dengan symbol globalisasi, yang mengikut sertakan misi perubahan idiologi suatu negara secara perlahan menjadi ideology negara pencetus globalisasi dengan gaya kapitalis dan pemikiran liberalis.
hingga tanpa sadar idiologi Pancasila sudah digantikan oleh pencetus globalisasi yg membawa misi politik idiologi suatu negara tersebut.
Dampak negative di bidang teknologi terjadi penyalahgunaan fungsi teknologi untuk hal-hal yang melanggar norma, seperti video porno yang direkam via handphone, atau kasus penipuan via internet.
Pengaruh
negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
1.
Globalisasi
mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan
dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi
Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa
nasionalisme bangsa akan hilang
2.
Dari
globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri
karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza
Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk
dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita
terhadap bangsa Indonesia.
3. Mayarakat kita khususnya anak muda
banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya
hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap
sebagai kiblat.
4.
Mengakibatkan
adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya
persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan
pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan
nasional bangsa.
5.
Munculnya
sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga.
Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan
bangsa.
Pengaruh- pengaruh di atas memang
tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara
keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi
berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat
secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada
masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan
menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila
tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis
sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan
dan kesatuan bangsa.
Pengaruh
Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan Generasi Muda
Arus globalisasi begitu cepat merasuk
ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap
anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak
anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini
ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak
muda sekarang.
Dari cara berpakaian banyak remaja-
remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat.
Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh
yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas
tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat
beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan
cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya
bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Dilihat dari sikap, banyak anak muda
yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa
peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan
keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya
geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu
ketentraman dan kenyamanan masyarakat.
Lebih lanjut dampak negatif globalisasi di bidang teknologi:
1. Kerahasiaan alat tes semakin terancam Program tes inteligensi seperti tes Raven, Differential Aptitudes Test dapat diakses melalui compact disk.. Implikasi dari permasalahan ini adalah, tes psikologi yang ada akan mudah sekali bocor, dan pengembangan tes psikologi harus berpacu dengan kecepatan pembocoran melalui internet tersebut.
2. Penyalah gunaan pengetahuan bagi orang-orang tertentu untuk melakukan tindak kriminal. Kita tahu bahwa kemajuan di badang pendidikan juga mencetak generasi yang berepngetahuan tinggi tetapi mempunyai moral yang rendah. Contonya dengan ilmu komputer yang tingi maka orang akan berusaha menerobos sistem perbangkan dan lain-lain.
Solusi
Sifat Ketahanan Nasional Indonesia
Ketahanan
nasional yang harus di jiwai Indonesia memiliki sifat yang terbentuk dari
nilai-nilai yang terkandung dalam landasan dan asas-asasnya, yaitu:
1. Mandiri
Ketahanan
nasional percaya pada kemampuan dan kekuatan sendiri serta pada keuletan dan
ketangguhan, yang mengandung prinsip tidak mudah menyerah, dengan tumpuan pada
identitas, integritas, dan kepribadian bangsa. Kemandirian (indepedency) ini merupakan prasyarat untuk menjalin kerjasama yang
saling menguntungkan dalam perkembangan global (interdependent).
2. Dinamis
Ketahanan
nasional tidaklah tetap. Ia dapat meningkat atau menurun, tergantung pada
situasi dan kondisi bangsa, Negara, serta lingkungan strategisnya. Hal ini
sesuai dengan hakikat bahwa segala sesuatu di dunia ini senantiasa berubah dan
perubahan itu senantiasa berubah pula. Karena itu, upaya peningkatan ketahanan
nasional harus senantiasa diorientasikan ke masa depan dan dinamikanya di arahkan
untuk pencapaian kondisi kehidupan nasional yang lebih baik.
3. Wibawa
Keberhasilan
pembinaan ketahanan nasional Indonesia secara berlanjut dan berkesinambungan
akan meningkatkan kemampuan dan kekuatan bangsa. Makin tinggi tingkat ketahanan
nasional Indonesia, makin tinggi pula nilai kewibawaan dan tingkat daya tangkal
yang dimiliki oleh bangsa dan Negara Indonesia.
4. Konsultasi
dan Kerjasama
Konsepsi Ketahanan
Nasional Indonesia tidak mengutamakan sikap konfrontatif dan antagonis, tidak
mengandalkan kekuasaan dan kekuatan fisik semata, tetapi lebih mengutamakan
sikap konsultatif kerjasama, serta saling menghargai dengan mengandalkan
kekuatan moral dan kepribadian bangsa.
Asas Mawas ke Dalam dan Mawas ke Luar
System
kehidupan nasional merupakan perpaduan segenap aspek kehidupan bangsa yang
saling berinteraksi. Di samping itu, system kehidupan nasional juga
berinteraksi dengan lingkungan sekelilingnya. Dalam proses interaksi tersebut
dapat timbul berbagai dampak, baik yang bersifat positif maupun negative. Untuk
itu di perluakan sikap mawas ke dalam maupun ke luar.
a. Mawas ke Dalam
Mawas ke dalam bertujuan menumbuhkan hakikat, sifat, dan
kondisi kehidupan nasional itu sendiri berdasarkan nilai-nilai kemandirian
bangsa yang ulet dan tangguh. Hal ini tidak berarti bahwa Ketahanan Nasional
mengandung sikap isolasi atau nasionalisme sempit.
b. Mawas ke Luar
Mawas ke luar bertujuan untuk dapat mengantisipasi dan
berperan serta mengatasi dampak lingkungan strategis luar negeri dan menerima
kenyataan adanya interaksi dan ketergantungan dengan dunia internasional.
Kehidupan nasioal harus mampu mengembangkan kekuatan nasional untuk memberikan
dampak ke luar dalam bentuk daya tangkal dan daya tawar. Interaksi dengan pihak
lain di utamakan dalam bentuk kerjasama yang saling menguntungkan.
Antisipasi
Pengaruh Negatif Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme
Langkah- langkah untuk mengantisipasi
dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu
:
1.
Menumbuhkan
semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam
negeri.
2.
Menanamkan
dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
3.
Menanamkan
dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
4.
Mewujudkan
supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya
dan seadil- adilnya.
5.
Selektif
terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial
budaya bangsa.
Bagi kita yang
sadar bahwa arus globalisasi itu tidak harus dimakan mentah-mentah tetapi harus
di saring dahulu sebelum di konsumsi, harusnya mampu memberikan penyadaran pada
masyarakat yang belum sadar tentang fungsi teknologi terutama internet yang
sebenarnya.
Bagi orang tua
berhati-hatilah dengan pergaulan anak-anak anda. Memberikan fasilitas kepada
anak-anak dengan tujuan agar mereka lebih kreatif dan cerdas bukan berarti
membiarkan mereka melakukan apapun tanpa dibimbing dan diawasi. Beri pengertian
pada anak-anak anda bahwa tidak semua situs di internet dapat diakses, mereka
harus memilih mana yang penting dan mendukung untuk sekolahnya atau tidak.
Situs-situs yang tidak penting lebih baik tidak diakses.
Jangan pernah
takut menerima perkembangan zaman, jangan pobia terhadap globalisasi. Biarkan
semua arus itu masuk namun yang harus kita ingat, pasang saring yang kuat agar
dampak negatif yang masuk bisa ditekan dan diminimalisir, sehingga dampak
negatif globalisasi tidak dengan mudahnya mempengaruhi kita.
Nasionalisme
di Era Globalisasi
Kebangkitan
nasional merupakan tonggak pertama pergerakan rakyat yang mengantar ke pintu
gerbang kemerdekaan. Kohesi sosial yang semula berdasarkan unsur-unsur
primordial (suku, bahasa, tradisi, agama) menjadi perasaan senasib sebagai
bangsa terjajah.
Tetapi
nasionalisme baru dipahami sebatas semangat kebangsaan dan geopolitik. Kita
belum menjadikan nasionalisme sebagai prinsip politik praktis sesuai dengan
realitas bangsa dalam kemajemukannya dan kini dalam keterpurukannya. Sebagai
bangsa, kita belum termotivasi membangun negeri dan merebut peluang ekonomi di
era globalisasi.
·
Politik
kebudayaan
Budi Oetomo terbentuk karena
kesadaran akan warisan kebudayaan dan dorongan modernisasi. Para pemimpin
pergerakan percaya, hanya dengan penyebarluasan pendidikan, rakyat tercerahkan
dan terbebaskan dari keterbelakangan. Pemerintah kolonial diminta mendirikan
sekolah dengan sistem beasiswa bagi pemuda pribumi berbakat. Kebangkitan kita
sebagai bangsa bukan lewat politik bambu runcing, kekuatan massa, atau agama,
tetapi lewat politik kebudayaan.
Persis di situ kita gagal.
Pendidikan bangsa diabaikan. Rakyat tetap lemah dan tak terdidik. Elite politik
setengah hati mencerdaskan rakyat. Ironi di republik merdeka, pemuda miskin tak
mampu meneruskan pendidikan tinggi karena swastanisasi universitas negeri.
Ukuran kebangkitan nasional di era globalisasi adalah menjadi bangsa modern.
Sewindu reformasi wajah demokrasi
kita liar di luar koridor negara hukum. Kekuatan-kekuatan massa mengorganisasi
diri dan main hakim sendiri. Namun, sebagai bangsa, kita tetap lemah, belum
mampu berdiri di atas kaki sendiri dan menentukan nasib sendiri, tidak bebas
menentukan kebijakan politik yang strategis. Ketergantungan ekonomi pada
negara-negara maju amat besar.
Syarat menjadi bangsa modern adalah
kebangkitan iptek. Untuk itu, politik kebudayaan harus jelas agar kita agresif
merebut dan menguasai teknologi modern. Aneka kecenderungan primordial harus
menyesuaikan diri dengan tuntutan modern.
Nasionalisme kita harus melahirkan
anak bangsa yang pandai dan mampu mengelola potensi alam, kekayaan, dan sumber
daya manusia, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kini kemajuan bangsa
ditentukan oleh kemampuan dan kepintaran menjalin kerja sama dengan negara
maju. Ramah terhadap investasi asing tidak berarti menggadaikan kekayaan dan
kedaulatan negeri.
·
Politik
pembangunan
Kita harus mengejar ketertinggalan
dalam menghasilkan produk-produk bernilai tambah dan berdaya saing global.
Nasionalisme harus mengawal dinamika sosial dan pembangunan sistem sosial.
Problem serius kita adalah kemiskinan sumber daya manusia (SDM) secara kualitas
maupun kuantitas. Manusia Indonesia yang cerdas tidak kurang, tetapi banyak
dari mereka bekerja di dan untuk negara lain.
Pemerintah Indonesia amat rendah
menghargai kerja peneliti. Gaji anggota parlemen puluhan kali lipat gaji
peneliti di LIPI. Prioritas pengembangan teknologi padat karya amat mendesak
untuk menyerap kelebihan tenaga kerja dan meredam ledakan pengangguran. Jangan
ada mimpi Indonesia tinggal landas dengan rakyat miskin sebagai landasannya.
Ketika pembangunan manusia dikorbankan,
kekayaan negeri hanya dinikmati segelintir orang. Sebagian besar rakyat tetap
miskin. Alih-alih keadilan sosial, tercipta kesenjangan sosial.
Pembangunan harus bertumpu pada
penghargaan atas manusia dan kemanusiaan karena negara memang harus menghormati,
melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar manusia.
Globalisasi menjadi masalah besar
bila hubungan antarnegara masih bersifat Patron-Klien yang tidak setara karena
globalisasi menjadi media eksploitasi. Celakanya, bukti empiris menunjukkan
bahwa beberapa negara "klien" justru menikmati kedudukannya sebagai
pihak yang perlu "dibantu". Mampu membayar kembali hutang dan bantuan
berikut segala kewajiban lainnya dianggap prestasi oleh negara
"klien" sehingga berutang terus-menerus dalam jumlah yang makin besar
bukan merupakan aib, tetapi justru dianggap sebagai keberhasilan.
Begitu juga dengan kecenderungan
memberi konsesi aneka pertambangan pada asing. Dapat disimpulkan bahwa
permasalahan globalisasi bukan semata-mata kesalahan keinginan mendominasi dari
negara patron, tetapi kesalahan terbesar justru ada pada negara
"klien" yang menikmati "ketergantungannya".
Negara "patron" tidak
dapat dicegah menggunakan kelebihannya untuk mencari manfaat dari negara
"klien", tetapi negara "klien" dapat bangkit dari keterpurukannya
dengan membongkar belenggu hubungan Patron-Klien ini dengan membangun
kemandirian, kepercayaan diri, dan melepaskan ketergantungan pada negara
"patron".
Inilah yang dilakukan oleh
negara-negara yang sukses, seperti Korea Selatan dan Singapura, yang sekarang
bisa berdiri sejajar dengan negara-negara Barat. Menangnya Hamas di pemilu
legislatif Palestina, Ahmadinejad di pemilu presiden Iran, nasionalisasi aset
migas Bolivia di bawah Evo Morales, dan aset migas Venezuela di bawah Hugo
Chavez menunjukkan meningkatnya protes masyarakat dunia terhadap kondisi
"Patron-Klien" dalam hubungan antarnegara.
Kita tidak menyerah pada fakta bahwa
di dunia yang penuh dengan persaingan ini, banyak pihak ingin menyiasati kita.
Yang harus kita lakukan adalah membuat diri kita tidak bisa diakali oleh
konspirasi asing.
Kita perlu memiliki ketahanan
nasional yang tangguh, yang mampu menentukan sendiri cara, kontrol, skema,
waktu, dan jenis keterbukaan kita pada dunia, serta menggunakan setiap peluang
berinteraksi dengan dunia sebagai kesempatan untuk memajukan bangsa dan negara
kita. Era globalisasi perlu dihadapi dengan semangat nasionalisme yang sama
kuatnya seperti saat negara-negara lemah melawan penjajahan zaman dulu.
Nasionalisme era sekarang perlu
diwujudkan dalam kecerdikan mengelola peluang yang timbul dari globalisasi,
dengan semangat meningkatkan kesejahteraan rakyat, harkat dan martabatnya.
Globalisasi telah mengantarkan dunia ke arah persaingan antarbangsa dan negara,
yang dimensi utamanya terletak pada bidang ekonomi, budaya, dan peradaban.
Tinggi rendahnya harkat, derajat,
dan martabat suatu bangsa semakin diukur dari tingkat kesejahteraan, budaya,
dan peradabannya.
Dengan adanya arus
globalisasi dunia ini Indonesia dihadapkan pada hanya dua pilihan saja: memilih
hal ini sebagai sebuah peluang atau sebagai sebuah hambatan. Peluang berarti
setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memanfaatkan situasi ini dalam
menghidupi kehidupannya dengan baik. Sedangkan tantangan berarti setiap orang
diberi kesempatan untuk berkompetisi dan menunjukkan kemampuannya.
Sudah saatnya Indonesia
melakukan akselerasi pembangunan di segala sektor menghadapi tantangan era
globalisasi yang sudah hadir di depan mata. Proses globalisasi ini membuat
dunia menjadi kian sempit. Persis seperti yang dikatakan Thomas L Friedman di
dalam bukunya yang berjudul The World is Flat. Jadi janganlah heran. Jika kita
dapat menemukan dengan mudah berbagai produk luar negeri yang beredar di
seantero negeri kita.
Strategi
Yang Tepat Untuk Menghadapi Globalisasi
Perlunya strategi yg tepat untuk
menghadapi globalisasi dengan gaya kapitalis dan liberalis yaitu Indonesia
harus memiliki system pemerintahan yg kuat dengan strategi yg jelas dan
memberlakukan hukum yg mengikat kuat pada individu, masyarakat serta membuat
kesepakatan dengan negara-negara asing dalam melakukan hubungan kerjasama yang
jelas tanpa adanya ketimpangan kebijaksanaan yang justru merugikan satu negara
dan menguntungkan negara lain dalam melakukan kerja sama, dengan memberikan
banyak persyaratan-persyaratan kepada negara Indonesia sebagai negara penerima
bantuan pinjaman dari para pengusung gaya kapitalis tsb.
Strategi hukum yg tepat untuk mengikat
pengaruh globalisasi dengan gaya kapitalis dan liberalis dengan kebebasan tanpa
batasnya, maka perlu adanya aturan-aturan yg tertulis dan mengikat akibat
pengaruh globalisasi yg kebablasan tanpa batas yaitu dengan mengembalikan 7
(tujuh) kata kunci yg terdapat dalam Piagam Jakarta yg dulu pernah disepakati
oleh tokoh-tokoh kemerdekaan dan ditanda tangani pada 1 Juni 1945 yaitu dengan
kata-kata mengikatnya tentang ke Tuhanan yang Mewajibkan Menjalankan Syariat
Islam Bagi Pemeluknya. Dan itu merupakan kata-kata ampuh untuk meredam semua
kekacauan-kekacauan yg diakibatkan oleh pengaruh globalisasi dan mengikat
individu masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim yg merupakan kunci maju
atau mundurnya bangsa Indonesia saat ini.
Dengan mengembalikan Tuhan bertahta
dalam hidup kita, maka dewa-dewi globalisasi yang destruktif akan menyingkir
dari kehidupan kita. Kita harus mensyukuri keberadaan kita sebagai orang
beragama dan ber-Tuhan, karena selalu tersedia kesempatan untuk mengelakkan
diri dari pengaruh buruk globalisasi dengan pendampingan dari agama asli yang
kita yakini.
Dengan adanya langkah- langkah
antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat
mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga kita tidak akan kehilangan
kepribadian bangsa.
Kesimpulan
Dalam banyak hal, globalisasi
mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga
kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan
istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau
batas-batas negara.
Dosen dari Universitas Ohio
Elizabeth Fuller Collins
berpendapat bahwa globalisasi berdampak negative. Collins menyebutkan bahwa dampak negatif globalisasi adalah bahwa kapitalisme pasar bebas
yang bersanding manis dengan istilah ekonomi neoliberal
memperlakukan tenaga kerja, uang, tanah dan sumber alam sebagai faktor
produksi semata atau komoditas yang diperjual belikan. Akibatnya, Suplay
dan demand dari tenaga kerja, uang, tanah dan sumber alam akan
ditentukan dan menentukan harga di pasaran. Dampak langsung yang diakibatkan
kondisi ini adalah krisis finansial, instabilitas politik, dan ancaman
kelestarian lingkungan.
Yang di perlukan untuk menghadapi
dampak negatif globalisasi adalah dengan menghayati sifat ketahanan nasional
dalam pikiran, lisan dan perbuatan. Sifat-sifat dari rasa nasioalisme itu
sendiri adalah mandiri, dinamis, wibawa, konsultasi dan kerjasama.
Kepustakaan
Maskan,
akan dkk, Pendidikan Kewarganegaraan,2002.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
0 komentar:
Posting Komentar