Sabtu, 11 Mei 2013

TUBA OVARII ABSES (TOA)



BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Pada wanita rongga perut langsung berhubungan dengan dunia luar dengan perantaraan traktus genetalis. Radang alat kandungan mungkin lebih sering terjadi di negara tropis karena organ kewanitaan menjadi mudah sekali lembab karena udara yang panas sehingga menyebabkan sering berkeringat sedangkan personal hygiene masih kurang terjaga, infeksi veneris belum terkendali, serta perawatan persalinan dan abortus yang belum memenuhi syarat-syarat.
Tetapi dengan adanya antibiotika pada umumnya infeksi alat kandungan berkurang. Infeksi alat kandungan dapat menentukan fertilitas, mempengaruhi keadaan umum dan mengganggu kehidupan sex.
Pembagian infeksi ada 2 macam, dan pada kasus yang di alami Ny. “M” termasuk infeksi tinggi. Pada infeksi tinggi, tuba yang terkena dan infeksi tuba dapat merambat ke ovarium dan peritoneum pelvis. Bila tidak segera ditangani maka dapat berakibat fatal bagi setiap penderitanya karena dapat menimbulkan berbagai komplikasi bahkan kematian.
Untuk itu penulis tertarik untuk mengambil kasus tentang tuba ovarial abses pada Ny. “M”, dengan harapan melalui pemberian asuhan kebidanan ini pasien dapat menjadi lebih baik dan tidak terjadi komplikasi.

B.     Tujuan
  1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan kebidanan pada klien dengan Tuba Ovarial Abces.
  1. Tujuan Khusus
·      Mahasiswa dapat mengkaji dan mengumpulkan data.
·      Mahasiswa dapat mengidentifikasi diagnosa dan masalah.
·      Mahasiswa dapat mengantisipasi diagnosa dan  masalah potensial.
·      Mahasiswa dapat mengidentifikasi kebutuhan segera.
·      Mahasiswa dapat merencanakan asuhan kebidanan.
·      Mahasiswa dapat melaksanakan asuhan kebidanan yang telah di rencanakan.
·      Mahasiswa dapat mengevaluasi tindakan yang telah diberikan.



C.    Metode Penulisan
Menggunakan metode tinjauan kasus.
a.       Wawancara / anamnese
Komunikasi langsung yang bertujuan mencari informasi guna melengkapi data pasien dengan cara berkomunikasi dengan keluarga pasien untuk memperoleh data yang akurat.
b.      Observasi
Dengan cara mengamati perilaku dan keadaan pasien untuk memperoleh data tentang pasien.
c.       Studi Dokumentasi
Mempelajari dan melengkapi data dengan jalan melihat catatan dan status pasien.
d.      Studi Pustaka
Dari buku-buku penunjang.

D.    Sistematika Penulisan
 BAB I     PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Tujuan
C.     Ruang Lingkup
D.    Sistematika Penulisan
E.     Metode Penulisan
BAB II    TINJAUAN TEORI   
A.    Konsep Dasar Tuba Ovarii Abses
B.     Konsep Dasar Post Laparotomy
C.     Konsep Dasar Hidronefrosa
D.    Konsep Manajemen Asuhan Kebidanan
BAB III   TINJAUAN KASUS
A.    Pengkajian Data
B.     Identifikasi Diagnosa dan Masalah
C.     Identifikasi Diagnosa dan Masalah Potensial
D.    Identifikasi Kebutuhan Segera
E.     Intervensi
F.      Implementasi
G.    Evaluasi
BAB IV    PENUTUP
A.    Kesimpulan                                                       
B.     Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB II
TINJAUAN TEORI

A.    KONSEP DASAR TUBA OVARII ABSES
  1. Pengertian
a.       Tuba adalah saluran (kamus kedokteran).
Tuba uterina / fallopii adalah saluran telur, berjalan disebelah kiri dan sebelah kanan sebuah dari sudut uterus ke samping, di tepi atas ligamen lebar ke arah sisi pelvis.
(Anatomi Fisiologi, 2002: 264)
b.      Ovarial adalah indung telur.
Ovarial / ovarium adalah alat kelamin wanita yang berbentuk biji kenali, terletak di kanan dan kiri uterus di bawah tuba uterina dan terikat di sebelah belakang oleh ligamentum latum uteri.
(Anatomi Fisiologi, 2002:264)
c.       Abces adalah rongga yang terjadi karena kerusakan jaringan / bengkak.
Tuba ovarial abces adalah pembekakan pada tuba ovarium yang disebabkan oleh infeksi.        
  1. Etiologi
Paling sering disebabkan oleh gonococcus, disamping itu oleh staphylococcus dan streptococcus dan bacteri.
Infeksi dapat terjadi sebagai berikut :
·         Menjalar dari alat yang berdekatan seperti dari ovarium yang meradang.
·         Naik dari cavum uteri.
  1. Batasan
Abses Tubo Ovarial (ATO) adalah radang bernanah yang terjadi pada ovarium dan atau tuba fallopii pada satu sisi atau kedua sisi adneksa
  1. Gejala-gejala
·         Demam tinggi dengan menggigil.
·         Nyeri kiri dan kanan di perut bagian bawah terutama kalau ditekan.
·         Mual dan muntah, jadi ada gejala abdomen akut karena terjadi perangsang peritoneum.
·         Kadang-kadang ada tanesmi adalah anum karena proses dekat rektum dan sigmoid.
·         Toucher :
-          Nyeri kalau portio digoyangkan.
-          Nyeri kiri dan kanan dari uterus.
-          Kadang-kadang ada penebalan dari tuba­. Tuba yang sehat tak teraba.
-          Nyeri pada ovarium karena meradang.
  1. Patofisiologi/Etiologi
            Dengan adanya penyebaran bakteri dari vagina ke tuerus lalu ke tuba dan atau parametrium, terjadilah salpingitis dengan atau tanpa ooforitis, keadaan ini bisa terjadi pada pasca abortus, pasca persalinan atau setelah tindakan genekologik sebelumnya.
            Mekanisme pembentukan ATO yang pasti sukar ditentukan, tergantung sampai dimana keterlibatan tuba infeksinya sendiri. Pada permulaan proses penyakit, lumen tuba masih terbuka mengeluarkan eksudat yang purulent dari febriae dan menyebabkan peritonitis, ovarium sebagaimana struktur lain dalam pelvis mengalami keradangan, tempat ovulasi dapat sebagai tempat masuk infeksi. Abses masih bisa terbatas mengenai tempat masuk infeksi. Abses masih bisa terbatas mengenai tuba dan ovarium saja, dapat pula melibatkan struktur pelvis yang lain seperti usus besar, buli-buli atau adneksa yang lain.
            Proses peradangan dapat mereda spontan atau sebagai respon pengobatan, keadaan ini biasanya memberi perubahan anatomi disertai perlekatan fibrin terhadap organ terdekatnya. Apabila prosesnya menhebat dapat terjadi pecahnya abses.
  1. Gejala klinis
Bervariasi bisa tanpa keluhan bisa tampak sakit, dari ringan sampai berat disertai suhu badan naik, bisa akut abdomen sampai syok septic. Nyeri panggul dan perut bawah disertai pula nyeri tekan, febris (60-80 % kasus), takhirkardi, mual dan muntah, bisa pula terjadi ileus. Adanya masa pada perut bawah dan aneksa lebih memastikan suatu ATO.
  1. Pemeriksaan dan diagnosa
a)      Berdasarkan gejala klinis dan anamnesis pernah infeksi daerah panggul dengan umur antara 30-40 tahun, dimana 25-50 % nya adalah nulipara
b)      Pemeriksaan laboratorium, lekositosis (60-80 % dari kasus), peningkatan Leo
c)      Foto abdomen dilakukan bila ada tanda-tanda ileus, dan atau curiga adanya masa di adneksa
d)     Ultrasonografi, bisa dipakai pada kecurigaan adanya ATO atau adanya masa di adneksa melihat ada tidaknya pembentukan kantung-kantung pus, dapat untuk evaluasi kemajuan terapi.
e)      Pinki Douglas dilakukan bila pada VT : Cavum Douglas teraba menonjol. Pada ATO yang utuh, mungkin didapatkan cairan akibat reaksi jaringan. Pada ATO yang pecah atau pada abses yang mengisi cavum Douglas, didapat pus pada lebih 70 % kasus
  1. Diagnosis banding
a)      ATO utuh dan belum memberikan keluhan
-          Kistoma ovarii, tumor ovarii
-          Kehamilan ektopik yang utuh
-          Abses peri, apendikuler
-          Mioma uteri
-          Hidrosalping
b)      ATO utuh dengan keluhan :
-          Perforasi apendik
-          Perforasi divertikel / abses divertikel
-          Perforasi ulkus peptikum
-          Kelainan sistematis yang memberi ditres akut abdominal
-          Kista ovarii terinfeksi atau terpuntir
  1. Komplikasi
a)      ATO yang utuh :
Pecah sampai sepsis reinfeksi dikemudian hari, ileus, infertilitas, kehamian ektopik
b)      ATO yang pecah
Syok sepsis, abses intra abdominal, abses sub kronik, abses paru / otak
  1. Penatalaksanaan
a.       Curiga ATO utuh tanpa gejala
-          Antibotika dengan masih dipertimbangkan pemakaian golongan : doksiklin 2x / 100 mg / hari selama 1 minggu atau ampisilin 4 x 500 mg / hari, selama 1 minggu.
-          Pengawasan lanjut, bila masa tak mengecil dalam 14 hari atau mungkin membesar adalah indikasi untuk penanganan lebih lanjut dengan kemungkinan untuk laparatomi
b.      ATO utuh dengan gejala :
-          Masuk rumah sakit, tirah baring posisi “semi fowler”, observasi ketat tanda vital dan produksi urine, perksa lingkar abdmen, jika perlu pasang infuse P2
-          Antibiotika massif (bila mungkin gol beta lactar) minimal 48-72 jam
Gol ampisilin 4 x 1-2 gram selama / hari, IV 5-7 hari dan gentamisin 5 mg / kg BB / hari, IV/im terbagi dalam 2x1 hari selama 5-7 hari dan metronida xole 1 gr reksup 2x / hari atau kloramfinekol 50 mg / kb BB / hari, IV selama 5 hari metronidzal atau sefaloosporin generasi III 2-3 x /1 gr / sehari dan metronidazol 2 x1 gr selama 5-7 hari
-          Pengawasan ketat mengenai keberhasilan terapi
-          Jika perlu dilanjutkan laparatomi, SO unilateral, atau pengangkatan seluruh organ genetalia interna
c.       ATO yang pecah, merupakan kasus darurat : dilakukan laporatomi pasang drain kultur nanah
-          Setelah dilakukan laparatomi, diberikan sefalosporin generasi III dan metronidazol 2 x 1 gr selama 7 hari (1 minggu)
  1. Prognosis
a.       ATO yang utuh
Pada umumnya prognosa baik, apabila dengan pengobatan medidinaslis tidak ada perbaikan keluhan dan gejalanya maupun pengecilan tumornya lebih baik dikerjakan laparatomi jangan ditunggu abses menjadi pecah yang mungkin perlu tindakan lebih luas. Kemampuan fertilitas jelas menurun kemungkinan reinfeksi harus diperhitungan apabila terapi pembedahan tak dikerjakan
b.      ATO yang pecah
Kemungkinan septisemia besar oleh karenanya perlu penanganan dini dan tindakan pembedahan untuk menurunkan angka mortalitasnya.

B.  KONSEP POST OP LAPARATOMI
Ø  LAPARATOMI
1.    Pengertian
Pembedahan perut sampai membuka selaput perut.
Ada 4 cara, yaitu;
a.    Midline incision
b.    Paramedian, yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang (12,5 cm).
c.    Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
d.   Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian bawah ± 4 cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi appendictomy.
2.      Indikasi
a.    Trauma abdomen (tumpul atau tajam)
b.    Peritonitis
c.    Perdarahan saluran pencernaan.
d.   Sumbatan pada usus halus dan usus besar.
e.    Masa pada abdomen
3.      Komplikasi
a.    Ventilasi paru tidak adekuat
b.    Gangguan kardiovaskuler : hipertensi, aritmia jantung.
c.    Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
d.   Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan
4.      Latihan-latihan fisik
Latihan napas dalam, latihan batuk, menggerakan otot-otot kaki, menggerakkan otot-otot bokong, Latihan alih baring dan turun dari tempat tidur. Semuanya dilakukan hari ke 2 post operasi.

Ø POST OP ATAU POST OPERATIF LAPARATOMI
1.    Pengertian
Merupakan tahapan setelah proses pembedahan pada area abdomen (laparatomi) dilakukan. Dalam Perry dan Potter (2005) dipaparkan bahwa tindakan post operatif dilakukan dalam 2 tahap yaitu periode pemulihan segera dan pemulihan berkelanjutan setelah fase post operatif. Proses pemulihan tersebut membutuhkan perawatan post laparatomi. Perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang di berikan kepada klien yang telah menjalani operasi pembedahan abdomen.
Tujuan perawatan post laparatomi, antara lain:
a.    Mengurangi komplikasi akibat pembedahan.
b.    Mempercepat penyembuhan
c.    Mengembalikan fungsi klien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi.
d.   Mempertahankan konsep diri klien.
e.    Mempersiapkan klien pulang.

2.    Komplikasi
a)    Syok
Digambarkan sebagai tidak memadainya oksigenasi selular yang disertai dengan ketidakmampuan untuk mengekspresikan produk metabolisme.
Manifestasi Klinis :
a.    Pucat
b.    Kulit dingin dan terasa basah
c.    Pernafasan cepat
d.   Sianosis pada bibir, gusi dan lidah
e.    Nadi cepat, lemah dan bergetar
f.     Penurunan tekanan nadi
g.    Tekanan darah rendah dan urine pekat.
b)   Hemorrhagi
a.    H. Primer
Terjadi pada waktu pembedahan
b.    H. Intermediari
Beberapa jam setelah pembedahan ketika kenaikan tekanan darah ke tingkat normalnya melepaskan bekuan yang tersangkut dengan tidak aman dari pembuluh darah yang tidak terikat.
c.    H. Sekunder
Beberapa waktu setelah pembedahan bila ligatur slip karena pembuluh darah tidak terikat dengan baik atau menjadi terinfeksi atau mengalami erosi oleh selang drainage.
Manifestasi klinis hemorrhagi : gelisah, terus bergerak, merasa haus, kulit dingin-basah-pucat, nadi meningkat, suhu turun, pernafasan cepat dan dalam, bibir dan konjungtiva pucat dan pasien melemah.
c)      Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak.
d)     Buruknya integriats kulit sehubungan dengan luka infeksi.
Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi. Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aureus, mikroorganisme gram positif. Buruknya integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi. Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi.Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding abdomen sebagai akibat dari batuk dan muntah.



3.    Pencegahan dan Penanganan Komplikasi
a)    Syok
Pencegahan :
a.    Terapi penggantian cairan
b.    Menjaga trauma bedah pda tingkat minimum
c.    Pengatasan nyeri dengan membuat pasien senyaman mungkin dan dengan menggunakan narkotik secara bijaksana
d.   Pemakaian linen yang ringan dan tidak panas (mencegah vasodilatasi)
e.    Ruangan tenang untuk mencegah stres
f.     Posisi supinasi dianjurkan untuk memfasilitasi sirkulasi
g.    Pemantauan tanda vital
Pengobatan :
a.    Pasien dijaga tetap hangat tapi tidak sampai kepanasan
b.    Dibaringkan datar di tempat tidur dengan tungkai dinaikkan
c.    Pemantauan status pernafasan dan CV
d.   Penentuan gas darah dan terapi oksigen melalui intubasi atau nasal kanul jika diindikasikan
e.    Penggantian cairan dan darah kristaloid (ex : RL) atau koloid (ex : komponen darah, albumin, plasma atau pengganti plasma)
f.     Terapi obat : kardiotonik (meningkatkan efisiensi jantung) atau diuretik (mengurangi retensi cairan dan edema)
b)   Hemorrhagi
Penatalaksanaan :
a.    Pasien dibaringkan seperti pada posisi pasien syok
b.    Sedatif atau analgetik diberikan sesuai indikasi
c.    Inspeksi luka bedah
d.   Balut kuat jika terjadi perdarahan pada luka operasi
e.    Transfusi darah atau produk darah lainnya
f.     Observasi Vital Signs.
c)    Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi dan ambulatif dini.
d)   Buruknya integriats kulit sehubungan dengan luka infeksi.
Tindakan pengendalian :
a.    Dorongan kepada pasien untuk batuk dan nafas efektis serta sering mengubah posisi
b.    Penggunaan peralatan steril
c.    Antibiotik dan antimikroba
d.   Mempraktikkan teknik aseptik
e.    Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
f.     Pencegahan kerusakan kulit
g.    Pantau tanda-tanda hemorrhagi dan drainage abnormal
h.    Pantau adanya perdarahan
i.      Perawatan insisi dan balutan
j.      Penggantian selang intravena dan alat invasif lainnya sesuai program.

4.    Intervensi untuk meningkatkan penyembuhan
a.    Meningkatkan intake makanan tinggi protein dan vitamin c.
b.    Menghindari obat-obat anti radang seperti steroid.
c.    Pencegahan infeksi.
d.   Pengembalian Fungsi fisik.
Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah operasi dengan latihan napas dan batuk efektf, latihan mobilisasi dini.
e.    Mempertahankan konsep diri.
Gangguan konsep diri : body image bisa terjadi pada pasien post laparatomy karena adanya perubahan sehubungan dengan pembedahan. Intervensi perawatan terutama ditujukan pada pemberian support psikologis, ajak klien dan kerabat dekatnya berdiskusi tentang perubahan-perubahan yang terjadi dan bagaimana perasaan pasien setelah operasi.

KONSEP HIDRONEFROSIS
1.    Pengertian
Hidronefrosis adalah dilatasi pelvis renalis dan calyces, serta atrofi progresif dan pembesaran kistik ginjal, dapat juga disertai pelebaran ureter (hidroureter).
Hidronefrosis adalah obstruksi saluran kemih proksimal terhadap kandung kemih yang mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter serta atrofi hebal pada parenkim ginjal (Price, 1995: 818).

2.    Etiologi
·      Adanya akumulasi urin di piala ginjal, akan menyebabkan distensi piala dan kaliks ginjal. Pada saat ini atrofi ginjal terjadi ketika salah satu ginjal sedang mengalami kerusakan bertahap, maka ginjal yang lain akan membesar secara bertahap (hipertrofi kompensatori) akhirnya fungsi renal terganggu.
·      Obstruksi pada fruktus urinarius
·      Obstruksi parsial atau intermitten disebabkan batu renal yang terbentuk di piala ginjal tetapi masuk ke ureter dan menghambatnya
·      Obstruksi uretra pada pintu kandung kemih akibat pembesaran prostat

3.    Patofisiologi
Obstruksi pada aliran normal urine menyebabkan urine mengalir balik sehingga tekanan ginjal meningkat. Jika obstruksi terjadi di uretra atau kandung kemih, tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal. Tetapi jika obstruksi terjadi di salah satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan, maka hanya satu ginjal yang rusak.
Obstruksi parsial atau intermitten dapat disebabkan oleh batu renal yang terbentuk di piala ginjal tetapi masuk ke ureter dan menghambatnya. Obstruksi dapat diakibatkan oleh tumor yang menekan ureter atau berkas jaringan parut akibat obses atau inflamasi dekat ureter dan menjepit saluran tersebut. Gangguan dapat sebagai akibat dari bentuk sudut abnormal di pangkal ureter atau posisi ginjal yang salah yang menyebabkan ureter kaku.
Pada pria lansia, penyebab tersering adalah obstruksi uretra pada pintu kandung kemih akibat pembesaran prostat. Hidronefrosis juga dapat terjadi pada kehamilan akibat pembesaran uterus.
Apapun penyebabnya adanya akumulasi urine di piala ginjal akan menyebabkan distensi piala dan kaliks ginjal. Pada saat ini, atrofi ginjal terjadi ketika salah satu ginjal mengalami kerusakan bertahap maka ginjal yang lain akan membesar secara bertahap (hipertrofi komensatori) akhirnya fungsi renal terganggu (Smeltzer, 2001:1442).

4.    Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki penyebab obstruksi untuk menangani infeksi dan untuk mempertahankan serta melindungi fungsi renal.
Untuk mengurangi obstruksi, urine harus dialihkan melalui refrostomi atau tipe diversi. Infeksi ditangani dengan agen antimikroloid karena sisa urine dalam kaliks menyebabkan infeksi dan pielonefritis. Pasien dipersiapkan untuk pembedahan yaitu untuk mengangkat lesi obstruktif (batu, tumor, obstruksi ureter). Jika salah satu ginjal rusak berat dan fungsinya hancur, maka nefraktomi (pengangkatan ginjal).


KONSEP MANAJEMEN ASUHAN KEBIDANAN
1.    Pengkajian Data
     No. Reg                             :
     Tanggal MRS                     :
     Jam MRS                            :
Tanggal pengkajian             :
     Jam pengkajian                   :
     Tempat pengkajian             :
a.      Data Subjektif
1.      Biodata
Nama                    : nama ibu dan suami untuk mengenal, memanggil, dan
  menghindari terjadinya kekeliruan               
Umur                    : untuk mengantisipasi diagnosa, masalah kesehatan, dan
  tindakan yang akan dilakukan.
Agama                  :untuk mengetahui agama ibu dan sebagai dasar pada saat
 memberikan asuhan yang berkaitan dengan spiritual.
Pendidikan           : untuk mengetahui tyingkat pendidikan ibu pada saat
  memberikan asuhan.
Pekerjaan              : untuk mengetahui kegiatan atau aktivitas ibu.
Alamat                 : untuk mengetahui alamat ibu, sewaktu-waktu bila ada masalah
  bisa langsung menghubungi keluarga.
2.      Keluhan Utama
Keluhan yang dirasakan pasien sehubungan dengan penyakitnya. Pada kasus tuba ovarial abses bisa tanpa keluhan bisa tampak sakit, dari ringan sampai berat disertai suhu badan naik. Bila ada keluhan, yang dirasakan pasien biasanya :
·      Demam tinggi dengan menggigil.
·      Teraba benjolan pada perur bagian bawah
·      Nyeri kiri dan kanan di perut bagian bawah terutama kalau ditekan.
·      Mual dan muntah
3.      Riwayat Perkawinan
Kawin                  :
Umur kawin         :
Lama kawin         :
4.      Riwayat Haid
     Lama haid            :
     Siklus haid           :
     Banyaknya           :
     Disminorhea         :
     Keputihan            :
     HPHT                   :
5.      Riwayat Kesehatan yang Lalu
Menentukan adanya penyakit-penyakit yang pernah dialami sebelumnya tentang penyakit menular, menahun dan menurun seperti hipertensi, DM, Asma.
6.      Riwayat Kesehatan Sekarang
Untuk mengetahui kesehatan ibu sedang mepderita penyakit menular / menurun yang dapat mengganggu kesehatannya pada saat ini, seperti TBC, hipertensi, jantung dan lain-lain.
7.      Riwayat Kesehatan Keluarga
Untuk mengetahui apakah dalam keluarganya ada yang menderita penyakit kronis / menular (TBC, hepatitis, PMS), penyakit menurun (DM, hipertensi).
8.      Riwayat Kehamilan, Persalinan, dan Nifas yang Lalu
·         Kehamilan
Pengkajian berapa kali hamil, mengenai masalah/gangguan saat hamil seperti hiperemesis, perdarahan pervaginam, pusing hebat, pandangan kabur, dan bengkak di tangan dan kaki, periksa hamil dimana, berapa kali, mendapat penyuluhan dan pelayanan apa saja, suntik TT berapa kali.
·         Persalinan
Pengkajian mengenai anak yang lahir hidup, persalinan tepat waktu/prematur/keguguran, persalinan biasa/dengan alat/operasi, jenis kelahiran plasenta, riwayat perdarahan lalu.
·         Nifas
Pengkajian mengenai keadaan masa nifas yang lalu, menyusui bayi atau tidak, berat bayi. Masalah-masalah lain yang ditemui dalam masa nifas seperti adakah perdarahan yang berlebih, bendungan ASI, mastitis, Ketuban Pecah Dini (berhubungan dengan adanya infeksi organ genital), demam yang menunjukkan adanya infeksi dalam tubuh ibu..
9.      Riwayat KB
Untuk mengetahui apakah selama ini, ibu pernah mengikuti KB / belum sama sekali, berapa lama pemakaian, jika tidak menggunakan apa alasannya, jika drop out apa alasannya.

10.  Pola Kebiasaan Sehari-hari
a.       Nutrisi
Biasanya ada gangguan dalam pemenuhan nutrisi ada masalah karena ibu merasa mual dan muntah akibat ada gejala abdomen akut karena terjadi perangsang peritoneum.
b.      Eliminasi
Biasanya ada gangguan BAK dan BAB serta frekuensinya.
c.       Pola Istirahat
Biasanya ada gangguan dalam pola istirahatnya karena adanya rasa nyeri.
d.      Aktivitas
Aktifitasnya terganggu sehubungan dengan nyeri yang dirasakan.
e.       Personal Higiene
Biasanya pola kebersihan tidak mengalami masalah.
11.  Keadaan Psikologis
Keadaan psikologis ibu biasanya agak terganggu akibat penyakitnya ini. Ibu khawatir dengan kondisinya saat ini.
12.  Latar Belakang Sosial Budaya
Menentukan bagaimana hubungan dengan anggota keluarga yang lain dan menentukan adat / kebiasaan lain.
13.  Data Spiritual
Kebiasaan dalam menjalankan ibadah, dan apakah ibu beribadah sesuai dengan keyakinan yang dianutnya.

b.      Data Objektif
1.      Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : baik/ lemah
Kesadaran          : composmentis/ somnolens/ apatis/ coma.
2.      Tanda-tanda Vital / TTV
                        TD          : 110/70 mmHg-120/80 mmHg (normal)
ND          : 70 - 90 x/menit                    (normal)
RR          : 16 - 24 x/menit                     (normal)
S (axilla) : 36,5'C-37,5'C jika >37,5'C maka kemungkinan dapat 
                  terjadi infeksi

3.      Pemeriksaan Fisik
a.       Inspeksi
Muka     :    pucat / tidak, oedem / tidak.
Mata      :    sklera kuning / tidak.
                            Hidung   : ada pernafasan cuping hidung /  tidak.
Leher    :  ada pembesaran kelenjar tyroid / tidak.
                               Dada      : ada retraksi dinding / tidak.
Abdomen: tampak pembesaran perut abnormal, ada bekas operasi / tidak.
Ekstremitas: oedem / tidak, varices / tidak.
b.      Palpasi
Leher     : adakah pembesaran kelenjar tyroid / tidak.
Abdomen : teraba pembesaran perut abnormal disertai nyeri tekan
Ekstremitas : oedem / tidak.
c.       Auskultasi
Dada         : adakah whezing dan ronchi / tidak.
4.      Pemeriksaan Penunjang
·      Toucher :
1.    Nyeri kalau portio digoyangkan.
2.    Nyeri kiri dan kanan dari uterus.
3.    Kadang-kadang ada penebalan dari tuba­. Tuba yang sehat tak teraba.
4.    Nyeri pada ovarium karena meradang.
·      Pemeriksaan dan diagnosa
1.    Pemeriksaan laboratorium, lekositosis (60-80 % dari kasus), peningkatan Leukosit.
2.    Foto abdomen dilakukan bila ada tanda-tanda ileus, dan atau curiga adanya masa di adneksa
3.    Ultrasonografi, bisa dipakai pada kecurigaan adanya ATO atau adanya masa diadneksa melihat ada tidaknya pembentukan kantung-kantung pus, dapat untuk evaluasi kemajuan terapi.
4.    Pungsi Douglas dilakukan bila pada VT : Cavum Douglas teraba menonjol. Pada ATO yang utuh, mungkin didapatkan cairan akibat reaksi jaringan. Pada ATO yang pecah atau pada abses yang mengisi cavum Douglas, didapat pus pada lebih 70 % kasus



2.      Identifikasi Diagnosa dan Masalah
Dx : Ny "...." dengan Tuba Ovarial Abces
Ds :
·      Demam tinggi dengan menggigil.
·                              Teraba benjolan pada perut bagian bawah
·      Nyeri di kiri dan atau di kanan perut bagian bawah terutama kalau ditekan.
·      Mual dan muntah
Do :     -   
1.    Suhu > 37,5 oC
2.    Inspeksi
·      Abdomen    : ada pembesaran pada perut bagian bawah.
3.    Palpasi
·      Abdomen   : terdapat massa abnormal pada abdomen dan nyeri tekan pada perut bagian bawah
5.    Pemeriksaan Penunjang
·      Toucher :
1.    Nyeri kalau portio digoyangkan.
2.    Nyeri kiri dan kanan dari uterus.
3.    Kadang-kadang ada penebalan dari tuba­. Tuba yang sehat tak teraba.
4.    Nyeri pada ovarium karena meradang.
·      Pemeriksaan dan diagnosa
a.       Pemeriksaan laboratorium, lekositosis (60-80 % dari kasus), peningkatan Leukosit.
b.      Foto abdomen dilakukan bila ada tanda-tanda ileus, dan atau curiga adanya masa di adneksa
c.       Ultrasonografi, bisa dipakai pada kecurigaan adanya ATO atau adanya masa diadneksa melihat ada tidaknya pembentukan kantung-kantung pus, dapat untuk evaluasi kemajuan terapi.
d.      Pungsi Douglas dilakukan bila pada VT : Cavum Douglas teraba menonjol. Pada ATO yang utuh, mungkin didapatkan cairan akibat reaksi jaringan. Pada ATO yang pecah atau pada abses yang mengisi cavum Douglas, didapat pus pada lebih 70 % kasus


3.      Identifikasi Diagnosa dan Masaiah Potensial
1.    ATO yang utuh :
Pecah sampai sepsis reinfeksi dikemudian hari, iteus, infertilitas kehamian ektopik
2.    ATO yang pecah
Syok spsis, abses intraabdominal, abses subkronik, abses paru / otak

4.      Identifikasi Kebutuhan Segera
·         Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi

5.      Intervensi
            Dx          : Ny "…. " dengan Tuba Ovarial Abces.
Tujuan    : - keadaan pasien menjadi lebih baik
K. Hasil : - Tidak ditemukan tanda- tanda infeksi pada luka seperi dolor (nyeri), color
(rasa panas pada area yang terinfeksi), tumor (bengkak pada ara yang luka), rubor (kemerahan), dan muncul pus (nanah).
                            - TTV dalam batas normal (TD : 90/60 – 130/90 mmHg, nadi : 60-70
       x/menit, RR : 16-24 x/menit, suhu :36,5o C-37,5 oC
                            - Tidak terjadi komplikasi.
Intervensi
a.       Lakukan informed consent pada ibu dan keluarga.
R/ Dengan informed consent akan mempermudah dilakukan tindakan.
b.      Observasi TTV dan keadaan umum.
R/ Parameter adanya kelainan.
c.       Beri dukungan moril kepada ibu.
R/ Dengan dukungan moril rasa cemas ibu akan berkurang.
d.      Anjurkan ibu untuk berdo'a.
R/ Dengan berdo'a mendekatkan diri dengan Allah.
e.       Lakukan skin test pada ibu.
R/ untuk mengetahui apakah ibu alergi terhadap obat- obatan tertentu.
f.       Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian tindakan yaitu laparotomy dan pengobatan yang lainnya (salah satunya dalam pemberian antibiotik)
 R/ pemberian terapi yang tepat akan memaksimalkan kesembuhan pasien

6.      Implementasi
Mengacu pada intervensi

7.      Evaluasi
Mengacu pada kriteria hasil

DAFTAR PUSTAKA

Effendi hasjim Dr,dkk. 1981. Fisiologa Dan Patofisiologi Ginjal. Bandung : alumni

Price. Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Psroses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC

Rabbins, Stanley C. Buku Ajar Patologi II . Jakarta :EGC

Rn. Sweringen. 2000. Keperawatan Medical Bedah, Edisi 2. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne c. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2. Jakarta :EGC

0 komentar: